Pages

Wednesday 22 August 2018

Herakleitos

"Selama-lamanya itu berapa lama?" tanya Alice. 

Jawab Kelinci Putih: "Kadang-kadang cuma satu detik."

- Lewis Carroll, Alice di Negeri Ajaib

Waktu sebenarnya tak semakin cepat bergerak, tapi semakin cepat menelan banyak hal dan memuntahkan banyak hal. Benda dan perkara yang kemarin masih penting hari ini nyaris terlupakan. Alat, kata, gaya hidup, dan problem baru datang susul-menyusul.

Kita kian lupa telepon di meja rumah kita-kita hampir tak menggunakannya. Kita segera akan menutup kantor kita-kita bisa bekerja di rumah dan mengadakan rapat di tempat yang tak menetap. Kita mungkin tak akan perlu membangun universitas dan perpustakaan-para mahasiswa bisa kuliah dengan Skype atau teknologi serupa dari lokasi yang jauh. Buku, kamus, ensiklopedia, atlas pelan-pelan jadi barang yang tak ditengok lagi. Toko buku, toko baju, restoran Padang atau Manado bisa digantikan dengan pelayanan digital. Beberapa profesi terancam punah. Beberapa keterampilan di bidang medis, hukum, dan arsitektur bisa dikerjakan satu atau sederet mesin "kecerdasan buatan".

Tanpa membaca Future Shock Alvin Toffler yang terbit di tahun 1970, kita kini langsung mengalami tiap saat didorong masuk ke sebuah masa depan-yang sebenarnya masa sejenak yang dihuni hal-hal baru yang sebelumnya tak pernah kita temui. Kita merasa cepat tua dan ditinggalkan; kita bingung. Jangan-jangan bahkan kebingungan segera akan jadi milik masa lalu. Kita akan pasrah bersama kegagapan kita.


Future Shock telah memulainya, dan kini thema cerita tentang manusia yang dikebut perubahan telah jadi klisé. Dan orang pun mulai berpikir, bagaimana menyiapkan diri dan anak cucu kita, di tengah gelombang Herakleitos ini, ke masa depan.

Tapi masa depan yang seperti apa? "Semua hal bergerak dan tak ada yang tetap," kata Herakleitos sebagaimana dikutip Plato dalam Cratylus. Jika demikian halnya, gambaran kita tentang sebuah masa depan yang harus kita hadapi tak akan bisa jelas. Gambaran itu juga diguyahkan arus perubahan yang mengalir deras, bergejolak, bak sungai dari jeram gunung.

Di tahun 1848, Manifesto Komunis menggambarkan perubahan yang digerakkan kaum pemodal dalam dunia modern; Marx dan Engels menggunakan kiasan yang dramatis: "Segala hal yang padat-pejal meleleh jadi udara." Menyambung Marx dan Engels, Yuval Noah Harari menulis dalam Wired yang akan beredar September/Oktober 2018 bahwa bukan cuma struktur sosial ekonomi yang akan berubah. Kelak juga struktur kognitif kita akan meleleh, terburai ke dalam "gumpalan awan satuan data", a cloud of data bits.

"Tak seorang pun benar-benar dapat memprediksikan apa saja perubahan yang akan kita saksikan," tulis Harari. Seperti dalam Sapiens dan Homo Deus, Harari efektif dalam menyusun kata-katanya: "Jika seseorang menggambarkan kepada kita dunia di tengah abad ke-21 dan gambaran itu mirip sebuah fiksi ilmu, itu mungkin sekali palsu. Tapi juga jika seseorang menggambarkan dunia di tengah abad ke-21 dan tidak mirip sebuah fiksi ilmu, itu pasti palsu."

Memang mirip sebuah fiksi jika kini manusia jadi data yang diotak-atik, bukan subyek sebuah biografi. "Kita hidup dalam era ketika manusia diretas," tulis Harari. Algoritma memantau kita-dan membentuk kita.

"Kita diawasi ke mana kita pergi, apa yang kita beli, siapa yang kita temui. Semua langkah kita, semua napas kita, semua detak jantung kita dimonitor.... Dan ketika algoritma-algoritma itu mengetahui diri kita lebih baik ketimbang kita sendiri, mereka akan dapat mengendalikan dan memainkan kita, dan tak banyak yang bisa kita lakukan menghadapi itu."

Tapi tidakkah Harari terlampau waswas?

Ia menyebut banyak pakar pendidikan menganjurkan agar generasi muda tak lagi mengajarkan keterampilan yang sudah ditentukan sebelumnya-memecahkan soal matematika, mengidentifikasi bahan kimia dan persenyawaannya, atau menguasai bahasa asing. Sebab kelak mesin dengan "kecerdasan buatan" akan lebih sanggup mengerjakan itu. "Sebuah aplikasi penerjemahan Google akan membuat kita mampu bercakap dengan fasih dalam bahasa Mandarin, Kanton, atau Hakka, meskipun sebenarnya kita hanya tahu berkata ‘Ni hao’."

Maka para pendidik menganjurkan agar sekolah-sekolah mengajarkan "Empat K"-pemikiran kritis, komunikasi, kerja sama, dan kreativitas. Generasi kini dan yang akan datang perlu kemampuan menemukan dan membentuk diri berkali-kali.

Tapi bagaimana dengan nilai-nilai, yang umumnya tumbuh dari sejarah masa lalu dan jadi khazanah budaya? Bagaimana dengan agama dan hukum-hukumnya? "Empat K" yang menjawab perubahan memang akan bisa mengguyahkan semua itu, sebagian atau semuanya.

Yang akan jadi problem bukanlah rontoknya ajaran nilai-nilai dan hukum agama-yang apa boleh buat akan gampang lapuk di tengah perubahan cepat ini. Yang akan jadi problem adalah sifat universal dari hal-hal yang selama ini merawat kemanusiaan. Jika yang universal dianggap tak berdasar, karena tak ada ruang dan waktu yang menetap, karena yang "selama-lamanya" sama dengan "satu detik", bagaimana sesama manusia akan bisa berbagi apa yang dirasakan adil, benar, indah?

Mungkin manusia akan makin perlu membentuk percakapan yang bebas untuk lepas dari kesalahpahaman yang tak henti-henti. Kita memang tak bisa mengatakan, dengan meminjam frasa sajak Amir Hamzah, "lalu waktu, bukan giliranku". Tapi kita akan bahagia jika kita tetap bisa menikmati puisi, dongeng, mengapresiasi kearifan, yang datang dari pelbagai waktu, yang bisa disegarkan lagi.

Sebab kita tak akan bisa, dalam guncangan perubahan, berpegang pada doktrin. Doktrin, apalagi dogma-yang membeku dan tak kita sadari betapa mandeknya-adalah lingkaran setan kebingungan kita.

Oleh :

Goenawan Mohamad
20 Agustus 2018
Sumber : Caping Tempo

No comments:

Post a Comment