Wednesday 22 August 2018

Kura-kura

Seekor kura-kura menantang Akhiles bertanding lari. Prajurit yang tangkas berperang dalam dongeng Yunani Kuno itu tertawa geli, tapi ia setuju.

Sadar akan keulungan fisiknya, ia memberi kesempatan si kura-kura bergerak maju lebih dulu 10 meter. Akhiles yakin dengan gampang ia bisa bergerak 10 kali lipat lebih gesit. Tapi ternyata soalnya tak semudah itu. Dalam argumen matematis, ia tak bisa menang berlomba. Tak akan bisa.

Zeno, filosof asal Italia Selatan yang hidup di abad ke-5 sebelum Masehi, membuktikan kenapa demikian: di saat ketika Akhiles mencapai posisi tempat si kura-kura mulai bergerak (K-0 = 10 meter), reptil itu, walaupun pelan, akan sudah maju ke K-1 = 11 meter. Dan ketika Akhiles mencapai K-1, penyu itu sudah akan di posisi K-2 = 11,1 meter. Demikianlah seterusnya, ad finitum: tiap kali sang jagoan yang termasyhur dalam Perang Troya itu tiba di titik tempat si kura-kura sebelumnya ada, ia sudah akan didahului.

Walhasil, Akhiles sang petarung akan kalah cepat oleh seekor kura-kura yang tak bisa berlari....

Paradoks yang dikemukakan Zeno itu (satu dari lebih dari 40 yang lain) memaksa kita berpikir. Jangan-jangan kecepatan yang kita lihat dan alami sebenarnya bukan kecepatan; jangan-jangan gerak yang kita saksikan dan mengerti sesungguhnya bukan gerak. Andai kata begitu, apa gerangan yang bisa kita ketahui tentang dunia dan kehidupan? Berabad-abad lamanya sederet matematikawan dan pemikir bergulat dengan paradoks tua itu-sejak Aristoteles pada 400 tahun tarikh Masehi sampai dengan 1.000 tahun sesudahnya. Mungkin karena akhirnya ini masalah eksistensial-bukan sekadar problem matematika.

Zeno merisaukan karena ia hendak menegaskan bahwa dalam hidup, gerak tak pernah ada. "Posisi-1 Akhiles" tak pernah pindah ke "posisi-2 Akhiles". Jika demikian, juga tak pernah ada situasi yang disebut "tadi". "Tadi" dan "kini" itu satu. Zeno, sebagaimana gurunya, Permenides, menegaskan bahwa manusia hidup dalam "kekinian yang tak berlanjut". Segala yang ada dalam alam semesta tak berubah. Waktu hanya ilusi. Yang ada hanya unggunan tak terhingga posisi yang mandek.

Tapi benarkah? Kita tahu, dari cerita di atas, pertandingan tak benar-benar terjadi di lapangan. Kemenangan Kura-kura Zeno ditarik dari analisis teoretis, dari "perhitungan di atas kertas".

Tapi seandainya pertandingan yang diatur Zeno dilanjutkan, akan kita lihat Akhiles tak berada dalam posisi mandek. Ia akan bergerak. Ia akan mengejar dan melampaui Kura-kura.

Bisakah kita, dan bagaimana kita, menunjukkan Zeno salah?

Dalam La Pensée et le Mouvant (pertama kali terbit pada 1934), Bergson-yang terkenal dengan kata-katanya bahwa "ada" berarti "berubah"-menyarankan satu cara gampang: sebaiknya kita bertanya kepada Akhiles. Dan, kata Bergson, Akhiles, yang bertanding, akan menjawab: "Aku tak bergerak dari titik demi titik yang ditinggalkan si Kura-kura. Aku ambil selangkah pertama, lalu selangkah kedua, dan seterusnya; akhirnya, setelah sejumlah langkah tertentu, aku ambil satu langkah terakhir dan dengan itu mendahului si penyu. Yang kulakukan dan kucapai adalah rangkaian laku yang tak bisa diurai dalam bagian demi bagian." Dengan kata lain, gerak lari Akhiles adalah sebuah kontinuitas penuh, "une série d’actes indivisibles".

Kontinuitas itu sederhana, tapi yang justru tak diakui Zeno; filosof ini mengetahui dunia hanya melalui analisis. Tapi kesalahan Zeno yang lebih mendasar ialah mempersamakan gerak lari dengan ruang tempat berlari-ruang yang mandek dan sebab itu dapat dibagi-bagi: K-1, K-2, K-3.... Zeno menjelaskan gerak dengan bertolak dari apa yang tak bergerak. Ia mencampur-baurkan gerak dengan barang yang mandek.

Bergson sebaliknya. Gerak, itulah yang segalanya di sana. Baginya, gerak bukanlah sebuah posisi yang diikuti sebuah posisi berikutnya-dan seterusnya. Ada alur (passage), tapi alur ini umumnya dilihat orang analitis macam Zeno sebagai sederetan posisi. Orang umumnya menyukai demikian, sebab itu lebih mudah ditangkap ketimbang gerak sebagai gerak.

Tapi bagi Bergson, mandek itu ilusi. Kita hidup di antara benda dan manusia seperti ketika kita, seraya duduk di gerbong kereta api A, melihat ke gerbong kereta api B yang melaju sejajar, berbareng, dan dengan kecepatan yang sama, ke arah yang sama. Kita akan melihat B tak bergerak. Kita melihatnya tak berubah.

Gerak dan perubahan justru sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, meskipun manusia sering tak melihatnya. "Melihat" adalah kata yang tepat di sini: kita hidup dengan indra visual sebagai sarana terpenting menangkap kenyataan-satu hal yang di zaman ini kian dominan: huruf, meme, Instagram. Tapi indra visual punya kebiasaan memisah-misah; kita hanya bisa melihat sebatang jarum, seraut wajah, sebuah panorama, tak pernah sekaligus, selalu dari satu sisi ke satu sisi lain. Dalam proses itu, perubahan diasumsikan tak ada; gerak seakan-akan dibekukan.

Tapi untung. Ada yang bisa membuka kepekaan kita kepada gerak dan perubahan: kuping kita. "Mari kita dengarkan sebuah melodi," tulis Bergson, "dan kita biarkan diri kita dibuainya: bukankah kita akan dapat mencerap dengan jelas sebuah gerak yang tak terikat kepada sebuah benda yang bergerak, sebuah perubahan tanpa ada yang berubah? Perubahan itu sendiri cukup, perubahan itulah segalanya. Meskipun melodi itu berlangsung dalam waktu, ia tak bisa diurai, dibagi-bagi...."

Hmmm-mungkin kita butuh melodi. Kita tengah mengalami erosi kepekaan kepada gerak dan perubahan, kepada proses, apalagi kepada ritme. Kita dikerumuni kemandekan. Kita mencandu inersia-karena yang mandek itu mudah dimanfaatkan. Bunyi diulang-ulang, gerak diubah jadi repetisi, kata jadi klise, imbauan moral jadi hukum yang ajek. Kita tahu hidup bergerak. Tapi kita lebih gemar melihatnya seperti Kura-kura Zeno yang tenang dan pasti. Dalam posisi mandek.

Goenawan Mohamad
13 Agustus 2018
Sumber : Caping Tempo