Thursday 22 October 2015

Kiai Hasyim dan Syiah ( Sebuah Tanggapan)

Tulisan ini walaupun menggunakan subyek "saya", tapi jujur saja ini bukan tulisan saya pribadi. Tapi tanggapan orang lain. Jadi silahkan saja di simak, mudah mudah an bermanfaat.

***

Di koran Republika, tiap hari kamis pekan ketiga tiap bulan, ada suplemen khusus: Jurnal Islamia. Jurnal Islamia ini diterbitkan atas kerjasama antara Republika dengan INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations). Yang duduk di dewan redaksi Islamia, antara lain, adalah Dr Hamid Fahmy Zarkasyi & Dr Adian Husaini.

Di edisi hari Kamis kemarin (20 Juni 2013) tema yang diangkat adalah tentang Hadhratusy-Syaikh Hasyim Asy’ari. Saya jarang baca Islamia sebenarnya, kecuali bila ada artikel yang ditulis Dr Adian Husaini. Tapi kali ini, karena temanya menarik, dan sepertinya memang memanfaatkan momentum film Sang Kiai, saya baca Islamia.

Ada lima artikel panjang yang membahas Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Dalam catatan ini saya ingin memberikan beberapa komentar saja dari artikel-artikel di jurnal Islamia itu. Saya merasa, ada cukup banyak warga Nadliyin yang kurang sreg dengan isi artikel-artikel di Jurnal Islamia itu.

[ 1 ]

Dalam artikel berjudul Kesesatan Agama Menurut KH Hasyim Asy’ari oleh seorang peneliti dari InPAS, Surabaya, tertulis:

“Beliau mengatakan dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama: Di zaman akhir ini tidak ada mazhab yang memenuhi persyaratan kecuali mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Adapun mazhab yang lain, seperti mazhab Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah adalah ahli bid’ah. Sehingga, pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti.”

Dalam artikel berjudul Jihad dan Pemikiran Sang Kiai oleh dosen STAI Lukmanul Hakim, Surabaya, tertulis:

“Demikian juga terhadap hal-hal yang menurutnya berpotensi memengaruhi akidah umat tidak lepas dari perhatiannya. Sebagai bukti, dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, Kiai Hasyim dengan tegas melarang warganya untuk tidak terpengaruh apalagi mengikuti aliran Syiah Zaidiyah. Padahal, Syiah Zaidiyah tergolong aliran yang relatif ringan kesalahannya, yaitu mereka berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib RA lebih utama ketimbang Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA.”

Memang benar bahwa Mbah Hasyim menyatakan bahwa mazhab Zaidiyah dan Imamiyah termasuk ahli bid’ah. Termaktub dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasiy (yang dalam kompilasi Irsyad as-Sari oleh [Allahu yarham] Gus Ishom Hadziq digabung dengan at-Tibyan) di bab Risalah fi Ta’akkud al-Akhdzi bi Madzhahib al-A’immah al-Arba’ah halaman 29, Mbah Hasyim menulis:

وإذا تعين الاعتماد على أقاويل السلف فلا بد من أن تكون أقاويلهم التي يعتمد عليه مروية بالإسناد الصحيح أو مدونة في كتب مشهورة … وليس مذهب في هذه الأزمنة المتأخرة بهذه الصفة إلا هذه المذاهب الأربعة , اللهم إلا مذهب الإمامية والزيدية, وهم أهل البدعة لا يجوز الاعتماد على أقاويلهم.

Namun demikian, bahwa Mbah Hasyim menyatakan bahwa Syiah Zaidiyah adalah ahlul-bid’ah (apalagi di artikel itu, bagian kalimat tersebut di-highlight di bagian atas artikel) mestinya disertai dengan keterangan lebih lanjut. Ini agar lebih proporsional dalam pemaparan mengenai sebab pernyataan “ahli bid’ah” itu. Warga NU tentu tahu, kitab-kitab Zaidiyah banyak dikaji di kalangan Nahdliyin. Sebutlah di antaranya, Subulus-Salam dan Nailul-Awthar. Bahkan kitab-kitab tafsir kontemporer, tidak sedikit yang menukil az-Zamakhsyari, misalnya, yang berasal dari kelompok Mu’tazilah.

Sepemahaman saya, Mbah Hasyim menyatakan mazhab Syiah Zaidiyah tidak boleh diikuti karena kitab mereka tidak terkodifikasikan dengan baik sehingga hilanglah kepercayaan akan isi kandungan ajaranya. Ini dikuatkan dengan dua paragraf di akhir bab tentang keharusan berpegangan pada 4 mazhab itu. Mbah Hasyim menyatakan bahwa mazhab-mazhab yang diikuti tidak terbatas pada empat saja. Ada mazhab lain, seperti mazhab Dua Sufyan (at-Tsauri dan ibn ‘Uyainah), Ishaq ibn Rahawaih, Awza’i, bahkan Dawud az-Zhahiri. Namun, tersebab hilangnya kitab-kitab mereka dan tiadanya penerus mazhab mereka, maka tidak boleh mengikuti mazhab kecuali mazhab yang empat. Sebab, hanya mazhab empat yang terjamin sanadnya dan tidak mengalami distori (tahrif).

Terkait Imam Zaid ibn ‘Ali Zainal’Abidin, Mbah Hasyim menulis:

“… ولذا قال غير واحد في الإمام زيد بن علي رحمه الله: إنه إمام جليل القدر عالى الذكر, وإنما ارتفعت الثقة بمذهبه لعدم اعتناء أصحابه بالأسانيد …”

[ 2 ]

Dipaparkan dalam artikel Kesesatan Agama Menurut KH Hasyim Asy’ari, bahwa Mbah Hasyim memerangi banyak model kesesatan yang mesti diwaspadai umat Islam di Jawa. Antara lain, kebatinan, paham ibahiyah, paham hulul-ittihad alias manunggaling kawula gusti, aliran tasawuf yang menyimpang (mutashawwifah), dan Syiah Rafidhah.

Memang benar! Dan warga NU harus fair menyatakan, meski sebagian Nahdliyin merasa berat hati, bahwa Mbah Hasyim menilai sesat Syiah-Rafidhah. Mbah Hasyim menulis:

“ومنهم رافضيون يسبون سيدنا أبا بكر وعمر رضي الله عنهما, ويكرهون الصحابة رضي الله عنهم, ويبالغون هوى سيدنا علي وأهل بيته رضوان الله عليهم أجمعين, قال السيد محمد في شرح القاموس: وبعضهم يرتقي إلى الكفر والزندقة أعاذنا الله المسلمين منها…”

Namun demikian, yang bagi saya sangat janggal adalah, dalam pemaparan tentang yang “sesat” dalam artikel Kesesatan Agama Menurut KH Hasyim Asy’ari itu tidak dipaparkan kelompok pertama yang juga diwanti-wanti Mbah Hasyim agar umat Islam menjauhinya. Kelompok ini bahkan disebut terlebih dahulu sebelum Syiah-Rafidhah.

Di dalam Risalah Ahl as-Sunnah wal-Jama’ah, pada bab Fi Bayani Tamassuk Ahli Jawa bi Madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, halaman 9-10, Mbah Hasyim jelas menyebutkan bahwa di antara kelompok yang mesti dijauhi adalah para pengikut pandangan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Ahmad ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim, dan Ibn ‘Abd al-Hadi. Mbah Hasyim menulis:

“ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وابن عبد الهادى, فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم وخالفوهم فيما ذكر وغيره, قال ابن تيمية في فتاويه: وإذا سافر لاعتقاده أنها أي زيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم طاعة, كان ذلك محرما بإجماع المسلمين…”

Kejanggalan saya adalah, mengapa Syiah-Rafidhah dll disebut sebagai sesat tanpa mengetengahkan juga “kesesatan” para perintis “salafisme” itu? Padahal jelas, yang dibid’ahkan oleh kelompok Salafi itulah justru ciri khas Nahdliyin! Apakah karena keterangan itu tak berkesesuaian dengan ideologi dari para penulis INSISTS sendiri, sebab menyinggung Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan Ibn Taimiyyah? Wallahu a’lam. Mbah Hasyim menyebut para kaum “Salafi” itu justru sebagai ahli bid’ah, perusak agama, dan penebar permusuhan (ilqa’ al-‘adawah).

Yang mengherankan adalah justru di artikel berjudul Toleransi Sang Kiai oleh seorang magister UMS, Surakarta, tertulis, “Meski ketika di Mekkah ia menerima ide-ide Muhammad Abduh agar umat Islam kembali kepada Alquran dan Sunnah namun ia tidak sejalan dengan pikiran untuk melepaskan diri dari keterikatan mazhab…”

Yang cukup mengherankan, apakah di Mekkah, Mbah Hasyim menerima ide-ide Muhammad Abduh? Padahal cukup jelas apa yang beliau tulis mengenai Muhammad Abduh, sebagaimana terpaparkan di atas.

[ 3 ]

Mengenai Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah, saya pribadi mengikuti Syaikh Wahbah az-Zuhaliy yang menyatakan dalam al-Fiqh al-Islamiy-nya bahwa keduanya adalah mazhab yang sah di dalam Islam. Selain 4 mazhab yang utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), Wahbah az-Zuhaili juga mengakui 4 mazhab lainnya, yakni: Zhahiri (Dawud ibn ‘Ali al-Ashfihani), Syiah-Zaidiyah (Zaid ibn Ali Zainal Abidin), Syiah-Imamiyah (Muhammad ibn al-Hasan al-Qummi), dan Ibadhi-Khawarij (Abdullah ibn Ibadh at-Tamimi).

Berikut komentar dari Syaikh Wahbah tentang fiqh mazhab Syiah-Imamiyah:

“وفقه الإمامية, وإن كان أقرب إلى المذهب الشافعي, فهو لا يختلف في الأمور المشهورة عن فقه أهل السنة إلا في سبع عشرة مسألة تقريبا, من أهمها إباحة نكاح المتعة. فاختلافهم لا يزيد عن اختلاف المذاهب الفقهية كالحنفية والشافعية مثلا. وينتشر هذا المذهب إلى الآن في إيران والعراق. والحقيقة أن اختلافهم مع أهل السنة لا يرجع إلى العقيدة أو إلى الفقه, وإنما يرجع لناحية الحكومة والإمامة ”

“Fiqh Imamiyah, meski lebih dekat ke mazhab Syafi’i, ia tak berbeda dengan fiqh Ahlus-Sunnah dalam persoalan yang masyhur kecuali kira-kira terkait 17 masalah. Yang paling penting (dari perbedaan itu) adalah pembolehan nikah mut’ah. Perbedaan Syiah Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tak lebih sebagaimana perbedaan mazhab-mazhab fiqh lainnya, seperti Hanafi dengan Syafi’i. Mazhab Imamiyah ini sampai sekarang menyebar di Iran dan Irak. Secara substantif, perbedaan Syiah-Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tidak merujuk ke soal akidah atau fiqh, melainkan hanya pada aspek pemerintahan dan imamah.”

Di samping itu, masa hidup Mbah Hasyim sudah beda dengan kondisi sekarang, saat kontak antara dunia Sunni dan Syiah makin massif dan intensif. Bahkan konflik Sunni-Syiah yang terjadi di luar negeri seolah tak berjarak, dan terasa gaungnya sampai negeri ini. Lagipula, banyak ulama besar dunia masa kini yang mengupayakan adanya “pendekatan antara mazhab” (at-taqrib baina al-madzahib) antara Sunni dengan Syiah.

[ 4 ]

Sesungguhnya, bila Anda membaca kitab-kitab karya Mbah Hasyim, Anda akan mendapati bahwa beliau adalah ulama yang tegas: banyak ajaran-ajaran yang ditulisnya boleh jadi terasa “keras” untuk zaman ini. Mbah Hasyim memang ahli hadits, sehingga sangat mendasarkan setiap amaliyah-ibadah kepada ada-tiadanya nash.

Warga NU harus fair, bahwa Mbah Hasyim melarang peringatan haul (pernah dengar ada haul Mbah Hasyim?). Mbah Hasyim melarang haul terutama karena ada unsur campur-baurnya lelaki-perempuan tanpa dibatasi. Mbah Hasyim juga mengharamkan kentongan, karena itu mengandung unsur menyerupai (tasyabbuh) terhadap kaum Nasrani, sampai-sampai beliau menulis khusus tentang ini dengan kitab berjudul al-Jasus fi Ahkam an-Naqus.

‘Ala kulli hal, jika setiap pandangan-pandangan yang muncul dari dialektika di tubuh NU harus dihantamkan ke kitab Mbah Hasyim, atau Qanun Asasi itu, menurut saya, NU akan semakin mengecil, sebab banyak Nahdliyin yang tak lagi patut dianggap NU karena bertentangan dengan Qanun Asasi. NU bisa besar seperti saat ini karena ia bisa menampung banyak orang dengan berbagai kecenderungan pemikiran. Oleh karena itu, kontekstualisasi terhadap perubahan zaman perlu kiranya menjadi salah satu opsi yang layak diupayakan.

Wallahu waliyyut-taufiq.

~ Kotagede, 21/06/2013

No comments:

Post a Comment