Sunday 18 December 2016

CALAS

Ia tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya percaya kepada Tuhan—dan ia selalu dikenang karena kecamannya yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu.
Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang terkemuka di Eropa ini menggugah dalam menyampaikan pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria, baik dalam berkisah maupun dalam polemik. Tapi sejak awal 1760-an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari penanya lahir pamflet-pamflet yang marah.
Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang bernama Jean Calas dijatuhi hukuman agar disiksa dan dibunuh.
Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse ini di umur 68 tahun dihukum karena kematian anak sulungnya, Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain dan seorang pelayan, Calas dituduh berkomplot membunuh pemuda itu. Dugaan, atau dakwaan, atau desas-desus: mereka, orang Protestan, melakukan kejahatan itu karena marah ketika tahu anak muda itu telah murtad dari agamanya dan siap memeluk keyakinan Katolik.
Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati karena gantung diri. Pemuda berumur 29 tahun itu masuk ke sekolah tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat bekerja. Undang-undang Prancis waktu itu melarang orang berpraktek sebagai dokter dan pakar hukum kecuali bila ia punya sertifikat yang menunjukkan ia seorang Katolik. Marc-Antoine menolak berpindah agama, tapi ia juga tak bisa cari nafkah lain dan tak menyukai bekerja di toko ayahnya, sementara utangnya menumpuk di meja judi. Agaknya pemuda pemurung ini jengkel dengan nasibnya, merasa hina-dina di antara keluarganya, atau putus asa—dan memilih mati.
Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada polisi. Tapi ketika ia diinterogasi pertama kalinya, ia mencoba membuat cerita bahwa Marc-Antoine tewas terbunuh, dan si pembunuh raib. Agaknya ini caranya untuk mengelakkan sesuatu yang juga menakutkan: di masa itu, di Prancis, jasad seseorang yang bunuh diri akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi dengan cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian Marc-Antoine makin kabur. Para dokter yang memeriksa mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu "digantung hidup-hidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang lain".
Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel bawah tanah, barulah Calas mengatakan: Marc-Antoine "digantung hidup-hidup oleh dirinya sendiri".
Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas "praduga tak bersalah" atau cara lain untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah. "Satu bisikan dapat mematikan bagaikan sampar," kata seorang penulis. Dan di hari-hari itu, sampar berkembang lewat desas-desus dan kabar angin, tatkala penyebab kematian anak muda itu serba meragukan.
Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah ("parlemen") dan para hakim yang mengadilinya memutuskan: si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk nama-nama anggota komplotannya—lalu tubuhnya dipatahkan dengan roda, dan dibakar.
Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab memang tak ada. Maka siksaan dijalankan. Ada tahap ketika mulutnya dicagak dengan dua tongkat agar terbuka dan disentor air berkendi-kendi dan kemudian lubang hidungnya dipencet. Ketika tak ada juga pengakuan, ia dibawa ke depan umum, diarak ke alun-alun, diangkat ke perancah, dan diikat ke sebuah salib berbentuk X. Seorang algojo dengan besi panas menghancurkan tulang-tulang orang tua itu. Setelah tubuhnya patah, ia ditautkan dengan sebuah roda dan mukanya dihadapkan ke langit. Dua jam lamanya. Tapi ia tak juga mengakui kesalahannya, tak mau melepaskan imannya. "Aku mati tanpa salah," katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan ke api....
Écrasez l'infame! Ganyang kekejian itu! Dengan dua kata itu, yang artinya tak pernah persis tapi semangatnya menggelegak, Voltaire pun menyatakan perangnya kepada kebencian yang dinyalakan fanatisme agama. "Orang yang mengatakan kepadaku, 'Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, Tuhan akan mengutukmu,' kini akan mengatakan, 'Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, aku bunuh kau'."
Voltaire sendiri beriman kepada "wujud" yang maha-luhur, tapi ia "tak bergabung dengan salah satu sekte yang akan saling bantah." Agama seorang "deist", katanya, adalah agama paling purba: semata-mata menjunjung satu Tuhan yang mendahului "semua sistem di dunia".
Ia telah menyaksikan bagaimana "sistem" itu—sistem kepercayaan itu—tidak hanya mengikat, tapi juga membuat kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga: permusuhan dan prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang ditulisnya ia tutup dengan sebuah doa: "Semoga semua variasi kecil ini yang membedakan tiap zarah yang bernama manusia tak akan memicu kebencian dan penindasan."
Di tengah suasana yang menyesakkan seperti Prancis di abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan berdoa di samping kita, di Indonesia, kini.

SENIN, 19 DESEMBER 2016
Goenawan Mohamad

Amarah

Negeri ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi itu tiga perempat abad yang lalu.
Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu yang aktual ("sekarang!" seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan: "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!" seperti kata Bung Karno. Ada harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi manusia yang tak terbelenggu, karena kemerdekaan politik adalah "jembatan emas"—gilang-gemilang, kukuh, dan aman untuk mencapai yang dituju.
Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, "jembatan emas" itu ternyata impian yang terlalu manis atau retorika yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri yang penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan.
Tampak pula bahwa sebagian besar "rakyat" bukan pribadi-pribadi yang menentukan pilihan sendiri. Mereka yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka yang bersuara disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani melepaskan diri dari panutan kolektif.
Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato 1 Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang akan berdiri "bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan", melainkan negara "satu buat semua, semua buat satu". Bung Karno meyakini, dalam proses perpaduan antara "satu" dan "semua" itu akan efektif "musyawarah", lewat suatu proses politik dengan perwakilan rakyat.
Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering dialami: "musyawarah" bisa berarti pengekangan yang tersamar terhadap pendirian yang berbeda; "perwakilan rakyat" jadi parlemen yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para pendukung oligarki. Tak jarang dari sana berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau kepicikan.
Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga kali, setidaknya.
Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan. Sosialisme bukan lagi janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan masa silam—mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.
Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan "globalisasi". Pernah ada janji, menyebarnya modal dan perdagangan bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang dan perdamaian. "Tak ada dua negeri yang sama-sama punya McDonald's pernah bertempur satu sama lain, sebab masing-masing punya McDonald's-nya sendiri," kata suara yang paling optimistis tentang globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman.
Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan jalan damai, melainkan, sebagai modal, penyebab kegendutan dan keretakan. Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi modal global—dan bagi yang tak kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper Louis Vuitton) menandai sesuatu yang mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan asing. Globalisasi pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah ekonomi yang paling kuat berperan dalam penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.
Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan yang merundung orang-orang beragama. Yang paling nyaring, kita tahu, terdengar dari "dunia Islam".
Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa ini sebagai "Zaman Kemarahan".
Ia tak membatasi "kemarahan" kolektif itu di dunia Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di pelbagai negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan yang lebih khusus—sesuatu yang tak dikenal tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri Republik: kebencian yang diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan fitnah dan dusta, demagogi ala Rizieq.
Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu pengertian yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche ketika mengamati gejala psikologi kaum yang beragama: ressentiment. Dalam kata ini terkandung "paduan yang intens rasa iri, rasa terhina, dan tak berdaya"—seperti dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni Romawi.
Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi. Mereka sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang disebut "Barat", yang sebenarnya campuran yang hidup dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam hegemoni, sementara dunia Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.
Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia bisa terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma ketakutan.

SENIN, 12 DESEMBER 2016
Goenawan Mohamad

Saturday 17 December 2016

BELA ISLAM BELA INDONESIA #2

...Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
..(BELA ISLAM BELA INDONESIA #1)

Lapis Pelitur

Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).

Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.

Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.

Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."

Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."

Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."

Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.

Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."

Begitulah paparan dan imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman nusantara seyogianya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memosisikan Islam sebagai agama yang "antibudaya bangsa", sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan kehinduan atau kebuddhaan.
Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.

Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).

Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).

Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005).

BELA ISLAM BELA INDONESIA #1

Oleh : Adian Husaini
Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.
Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."
Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"
Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".
Rekayasa Penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.
Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).
Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."
Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia [2009]).
Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis Pelitur
(Bersambung ke BELA ISLAM BELA INDONESIA #2)

Thursday 8 December 2016

Dylan

Senin, 14 Oktober 2016

Saya tak mengerti Bob Dylan. Mungkin memang harus demikian: sesuatu yang memukau adalah sesuatu yang tak harus, atau bisa, dimengerti. Saya baca Tarantula, buku puisinya yang ia tulis pada umur 25 tahun atau pada 1966. Di dalamnya kata-kata bergerak bukan sebagai huruf, bukan sebagai wadah makna, melainkan sebagai bunyi: pengulangannya, konsonannya, tekanannya, panjang-pendek suku katanya:
mother say go in That direction & please
do the greatest deed of all time & say i say
mother but it's already been done & she say
well what else is there for you to do & i say
i dont know mother, but i'm not going in That
direction—i'm going in that direction & she
say ok but where will you be & i say i dont
know mother but i'm not tom joad & she say
all right then i am not your mother
Kita hidup di suatu masa ketika tak ada lagi hierarki antara makna dan bunyi, antara kata dan nada. Kita hidup di suatu masa ketika yang sastra dan yang bukan-sastra tak jelas terpisah—dan bahwa Dylan menerima Hadiah Nobel Kesusastraan menunjukkan runtuhnya struktur imajiner yang memisahkan itu. Tarantula sendiri memperlihatkan saat ketika khaos hadir di celah-celah bentuk. Yang kacau tak dijinakkan yang tertata, dan yang tertata tetap berada di dalam yang kacau.
Ruang ini, dengan 4.800 karakter, terbatas untuk menghormati Dylan secara sepatutnya. Jika ada yang harus saya katakan: saya tak kagum kepada tiap kalimatnya; saya terpesona akan suaranya yang bergetar, lugu, dengan kesayuan yang tiap kali ditingkah patahan dan ironi. Tapi saya tak heran bahwa ia bergema kuat: ia bisa dibaca, atau didengarkan—rekaman suaranya yang bersahaja tapi menyentuh, dengan harmonika di mulut dan gitar di pelukan—tatkala kejadian-kejadian dilontarkan dalam headline atau dibaca keras di televisi. Tapi kita terpukau karena ada yang tak hilang dari sana: pertanyaan.
How many seas must a white dove sail
before she sleeps in the sand?
Di tahun 1960-an, lagu ini dijadikan suara protes. Tapi kini mungkin protes itu tak lebih ketimbang sebuah sajak yang merundung kita terus-menerus.
”Blowing in the Wind” pertama kali jadi termasyhur melalui suara Peter, Paul, dan Mary, trio penyanyi folk yang mewakili suasana Amerika tahun 1960-an, ketika Amerika mengirimkan anak-anak muda ke kancah Perang Vietnam, ketika kaum hitam mulai menggugat perlakuan masyarakat mayoritas putih, ketika sebuah generasi resah—antara cemas dan cinta, antara santai dan gemuruh, ketika begitu banyak pertanyaan tentang hidup tak terjawab. Perang, kematian, ketakadilan, kekejaman, tapi juga kesetiaan dan pengorbanan: pernahkah akan berakhir? Mengapa? The answer, my friend, is blowing in the wind....
Melodi itu datang ke kenangan Dylan dari sebuah negro spiritual yang lama, ”No More Auction Block”—suara yang menusuk, ketika para budak mensyukuri kebebasan di sekitar Perang Saudara Amerika di abad ke-19. ”Tak ada lagi tempat lelang, tak ada lagi lecutan, tak ada lagi garam yang disiramkan ke luka siksaan.”
Tapi ”Blowing in the Wind” seakan-akan nyanyian yang lebih tua ketimbang itu, dengan kata-kata yang lebih langgeng. Dylan, yang nama masa kecilnya Bobby Zimmerman, dibesarkan dalam keluarga Yahudi pemilik toko mebel dan peralatan di Hibbing, Minnesota. Mungkin saja di kepalanya bergaung petilan Kitab Kejadian dan Ezekiel. Tapi tak berarti puisi dan nyanyi mematuhinya. Mereka menerobos peta dan mengelakkan genealogi.
Citra Bob Dylan adalah citra anak muda yang menerobos. Ia tampil seperti penyanyi pujaannya, Woody Guthrie, yang menggubah lagu ketika mengunjungi daerah Amerika yang terpukul kemiskinan selama depresi ekonomi. Sejak ia pindah ke New York dan mengabadikan namanya di Greenwich Village, Dylan seperti berpindah bahkan dari asal-usulnya, mengaburkannya, dan muncul dalam persona yang berbeda dari saat ke saat. I'm Not There (2007) mencoba menangkap itu: film ini ”diilhami oleh musik dan pelbagai hidup Bob Dylan”—dan enam aktor memerankan pelbagai sosok dirinya, termasuk aktor perempuan yang ulung itu, Cate Blanchett.
Dengan parasnya yang feminin dan halus, rambutnya yang lebat tak tersisir, dengan suaranya yang seperti menutupi melankoli, dan puisinya yang tak linear, Dylan—seperti dalam albumnya, The Freewheelin' Bob Dylan—adalah penggubah dan pengubah: seperti ketika ia bertolak dari corak musik folk seraya menjadikannya sesuatu yang lain.
Tapi ada yang tetap datang di dalam dirinya: kepekaan kepada hidup yang dicederai. Meskipun ia tak bisa jadi pembimbing. Ia menemukan yang lain. ”Aku menemukan sifat religius dan filsafat dalam musik.... Aku tak mengikuti rabi, pengkhotbah, evangelis, semua itu.”
Anehnya, suaranya terasa lebih benar ketimbang khotbah:
Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?

Goenawan Mohamad

Bhima

Senin, 10 Oktober 2016

"IA mencari air kehidupan, mungkin ia mencari kebenaran," kata dalang yang semalam mengisahkan cerita Bhima yang menemui Dewa Ruci di tengah samudra. "Mungkin kesatria itu tak tahu apa yang dicarinya dan yang akan diperolehnya," katanya lagi.
Saya terkesima. Semalam, di layar, saya menatap wujud kecil itu, Dewa Ruci, berkata kepada kesatria itu agar masuk ke dalam dirinya melalui telinganya. Bhima mesti meyakini yang mustahil sebagai yang mungkin. Dan ia menurut. Dan ia berhasil.
Ia menerobos lubang kuping itu dan menemukan dirinya berada di dalam ruang yang tak terkira. Serat Dewa Ruci menggambarkannya sebagai "samodragung, tanpa têpi nglangut lumaris/lêyêp adoh katingal"—samudra besar, tanpa tepi dan semua sayup tampak di kejauhan. Dalam adegan yang sering mengutip risalah-risalah kebatinan Jawa, di sanalah Bhima menyaksikan permainan empat warna: hitam, merah, kuning, putih. Warna-warna itu, menurut Dewa Ruci, merupakan imaji dari energi apa yang ada dalam diri sendiri—durmaganing tyas, terutama yang negatif, kecuali yang putih.
Tampak benar fokus cerita ini adalah manusia dan kemampuannya mengendalikan diri dan mencapai sesuatu. Ketika di bagian berikutnya ada paparan tentang persamaan "jagat besar" dengan "jagat kecil", kita kembali bertemu dengan manusia sebagai penentu perspektif tentang semesta. Bahwa kemudian dikatakan tubuh hanyalah perkakas yang dikuasai yang memberi hidup, kang karya gesang, itu justru menunjukkan betapa yang kekal dekat sekali dengan kefanaan insan.
Serat Dewa Ruci (yang saya baca teks yang digubah Mas Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri sebagai tafsir dari karya Sunan Bonang di abad ke-15) berasal dari sebuah masa ketika manusia dianggap akan mampu mencapai kebenaran dengan puruhita, mencari dan berguru lewat jalan yang rumit—dan bisa bertemu dengan yang dicari. Belum ada kekecewaan ketika manusia, dengan kehendaknya untuk benar, ternyata melahirkan bencana.
Namun ada yang perlu ditambahkan di sini. Serat Dewa Ruci, meskipun meletakkan manusia sebagai pengendali diri, tak bertolak dari norma yang sudah jadi. "Ajaran" dalam teks ini bersifat pragmatis. Yang penting bukanlah kejelasan apa itu "kebenaran" atau kepastian yang kita ketahui; yang penting bukanlah alasan yang logis, melainkan tindakan mengubah diri dan efeknya bagi dunia; yang utama adalah aksi, laku. Tak ada hukum ataupun aturan moral yang sudah dirumuskan.
Sejak awal, Bhima dikatakan mencari "air kehidupan". Dengan "air" (tirta atau toya) sebagai perumpamaan, kita mendapat kesan betapa pentingnya apa yang dicari itu bagi hidup. Tapi sekaligus betapa tak kedap; air transparan, mengalir, luwes, selalu merespons sebuah lingkungan. Maka apabila yang dicari kesempurnaan—atau kebenaran yang membawa kesempurnaan—yang diperoleh bukan sesuatu yang mandek dalam aturan atau standar.
Mungkin itu sebabnya "kearifan lokal" seperti ini—berbeda dengan agama-agama yang berpegang kepada Kitab—tak menawarkan hukum. Filsafat, bagi teks ini, bukan metafisika, melainkan "ethika": uraian dan penjelajahan keadaan yang memungkinkan terjadinya tindakan dan kehidupan yang "baik". Tapi "ethika" di sini terbatas. Dalam Dewa Ruci tak ada orang lain yang membuat semua itu berharga. Tak ada orang lain dengan siapa Bhima berbagi dalam proses pencarian dan penemuannya. Kesatria Pandawa itu meninggalkan saudara-saudaranya. Ia sendirian.
Kesendirian itu lebih terasa ketika orang lain bisa berarti musuh yang tersembunyi. Bhima pergi karena Durna, guru dan juga sekutu Kurawa, hendak menjerumuskannya, dan ia pulang dari perjalanannya dengan kemampuan mengalahkan dirinya sendiri dan dunia. Selesai meresapkan ajaran Dewa Ruci ia (merasa) lebih unggul, seakan-akan seantero jagat raya bisa ia rengkuh sekaligus, sawêngkon jagad raya/sagung kawêngku.
Ada kecenderungan solipsisme yang kuat dalam Serat Dewa Ruci. Ada tendensi menganggap hanya kesadaran sendiri yang ada dalam proses pencarian kebenaran. Orang lain, liyan, hadir tanpa bekas. Mungkin karena naskah ini dilahirkan dalam ruang-ruang meditatif dan lingkungan di mana percakapan adalah percakapan hierarkis, antara guru dan murid atau orang yang berbeda tingkat keilmuan. Tak ada dialog.
Maka dalam kalimat-kalimat tembang yang setengah gelap, naskah Dewa Ruci sering berakhir sebagai sesuatu yang esoterik: makin sedikit dipahami, makin mempesona. Hanya seorang dalang yang piawai yang berkata: mungkin Bhima (dan kita semua) tak tahu apa kebenaran yang dicari dan yang akan diperoleh.
Dan dalang tua itu tersenyum kecil dan kita ingat: tirta adalah sesuatu yang mengalir, tak berhenti. Dengan itulah ada kearifan lain: sungguh berbahaya proses mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi setelah yang dicari ditemukan.

Friday 25 November 2016

Kembali ke Jati Diri #2

Oleh : Dr. Azumardi Azra

Jati diri Islam Indonesia wasathiyah memiliki ortodoksinya sendiri, terdiri dari tiga aspek; kalam (teologi) Asy’ariyah-Jabariyah, fiqh mazhab Syafi’i dan tasawuf al-Ghazali. Ketiga aspek ortodoksi ini terbentuk khususnya sejak abad 17-18 berkat usaha ulama besar otoritatif seperti Syekh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Abd al-Samad al-Palimbani dan banyak lagi.

Ortodoksi Islam Indonesia wasathiyah berbeda misalnya dengan ortodoksi Islam Arab Saudi, misalnya, yang terdiri dari hanya dua aspek: kalam Salafi-Wahabi, dan fiqh mazhab Hanbali. Sedangkan tasawuf hampir tidak mendapat tempat dalam ortodoksi Saudi karena menurut otoritas ulama Saudi, tasawuf mengandung banyak bid’ah dan khurafat.

Ortodoksi Islam Indonesia wasathiyah—memodifikasi kerangka antropolog Robert Redfield (1897-1958)—menjadi ‘tradisi besar’ (great tradition) yang mencakup berbagai ‘tradisi lokal’ (local tradition) yang dipraktikkan suku-suku dan komunitas Muslim beragam. Interaksi dan tukar menukar yang berlangsung terus menerus di antara kedua tradisi ini menghasilkan konvergensi aliran dan paham keagamaan, yang justru kian memperkuat paradigma Islam Indonesia wasathiyah.

Dalam perspektif perbandingan, ‘tradisi besar’ ortodoksi Islam Arab Saudi misalnya mencakup ‘tradisi kecil’ Najdi yang berasal dari kawasan timur yang merupakan sumber paham Wahabi yang kaku dan ketat dengan tema pemurniannya. Pada pihak lain, ada ‘tradisi kecil’ Hijazi yang lebih akomodatif karena sejak lama menjadi kosmopolit berkat posisi Makkah dan Madinah sebagai pusat ibadah haji, umrah dan ziarah.

Berbagai dinamika dan perubahan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang tidak mampu menggoyahkan jati diri Islam Indonesia wasathiyah. Sebaliknya, para penjajah menjadi saksi konsolidasi Islam Indonesian washatiyah, tidak hanya dalam hal murni keagamaan seperti aqidah dan ibadah, tetapi juga dalam kelembagaan ormas Islam, pendidikan Islam (pesantren, madrasah dan sekolah Islam), pelayanan kesehatan, dan penyantunan sosial.

Semua ini menjadi warisan (legacy) sangat kaya dan beragam yang dimiliki Islam Indonesia. Dapat dikatakan, tidak ada negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang memiliki legacy sebanyak dan sekaya Indonesia.

Pembangunan atau modernisasi yang menemukan momentum sejak masa Orde Baru juga tidak mampu mengubah jati diri Islam Indonesia washatiyah. Jika modernisasi sering disebut para ahli hanya menyingkirkan agama, sebaliknya modernisasi di Indonesia memunculkan intensifikasi keagamaan yang terlihat dalam kecintaan yang kian meningkat pada Islam (increased attachment to Islam).

Intensifikasi keislaman di Indonesia dalam proses modernisasi tidak hanya meningkatkan pendidikan kaum Muslimin, sekaligus memunculkan konvergensi keagamaan. Berbagai kecenderungan dan praktek keagamaan (tradisi kecil) yang dalam dan satu hal berbeda kini bersatu (convergent). Tetapi tetap saja konvergensi keagamaan itu memperkuat jati diri Islam Indonesia washatiyah.

Tantangan serius terhadap Islam Indonesia washatiyah justru mulai muncul secara terbuka sejak masa pasca-Orde Baru—era yang ditandai demokratisasi dan liberalisasi politik. Memanfaatkan suasana kebebasan politik dan sosial, berbagai paham dan praksis Islam transnasional—dengan ortodoksi yang tidak kompatibel dengan Islam Indonesia wasathiyah—berusaha mendapat pengikut di Indonesia.

Ketidaksesuaian itu Islam Indonesia wasathiyah dengan paham dan praksis Islam transnasional pertama-tama terlihat dari paradigma keislamannya. Paham dan praksis Islam transional cenderung literal yang dengan mudah menjerumuskan para pengikutnya ke dalam ekstrimisme dan radikalisme.

Tak kurang pentingnya adalah menyangkut politik. Jika Islam Indonesia wasathiyah telah menerima empat prinsip dasar dalam negara-bangsa Indonesia, yaitu NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebaliknya gerakan transnasional mengimpikan dawlah Islamiyah dan/atau khilafah.

Mencermati fenomena itu, banyak kalangan baik di dalam maupun luar negeri mencemaskan masa depan Islam Indonesia wasathiyah. Sementara mereka yang menganut paham dan praksis Islam transnasional terlihat sangat aktif, dalam pada itu, ormas-ormas Islam pemegang Islam wasathiyah nampak pasif. Hanya sekali-kali mereka bersuara tegas dan jelas menolak paham dan praksis Islam transnasional.

Ormas-ormas Islam yang memegangi jati diri wasathiyah seperti NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas berpaham sama di seantero Indonesia jelas memiliki peran krusial dalam menjaga keutuhan negara-bangsa Indonesia. Karena itu, ormas-ormas ini perlu senantiasa memperkuat jati diri Islam wasathiyah Indonesia.

Dengan penguatan terus menerus, mereka dapat menjadi aktor utama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga untuk aktualisasi Islam rahmatan lil ‘alamin dan penciptaan kedamaian di Dunia Muslim secara keseluruhan. Hanya  dengan kedamaian, umat Islam dapat kembali memberi sumbangan signifikan dalam pembangunan peradaban berkeadaban dan berkemajuan.

Kembali ke Jati Diri #1

Oleh : Dr. Azumardi Azra

Karakter atau jati diri Islam Indonesia adalah wasathiyah yang bersifat tawasuth dan tawazun. Dalam terminologi kajian Islam di dunia internasional Islam wasathiyah sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’—‘Islam berkeseimbangan secara adil’—atau juga ‘middle path Islam’—‘Islam jalan tengah’.

Paradigma Islam wasathiyah berlandaskan ayat Alquran, Surah al-Baqarah (2): 143 tentang ummatan wasathan: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu  [umat Islam] ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi [atas[ perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu”.

Seperti dikemukakan Profesor Mohammad Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (2015), penyebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan (midmost community) juga berarti sebagai umat terbaik yang pernah diciptakan Allah (Alu ‘Imran 3: 110). Hal ini tidak lain karena umat Islam didedikasikan untuk peningkatan kebajikan dan pencegahan kemungkaran, pembangunan bumi untuk kesejahteraan manusia, dan penegakan keadilan di muka bumi.

Jati diri sebagai ummatan wasathan berdasarkan prinsip wasathiyah didefinisikan Kamali sebagai; “postur direkomendasikan yang terwujud dalam diri orang yang memiliki naluri dan intelek yang sehat, yang ditandai dengan ketidaksukaan pada ekstrimisme dan kecerobohan yang nyata”.

Wacana dan paradigma mengenai Islam wasathiyah relatif baru. Pembicaraan tentang subyek ini mulai berkembang sejak awal abad 20, disinggung dalam berbagai karya pemikir di Dunia Arab semacam Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad al-Madani, Muhammad Syaltut, Yusuf al-Qaradhawi dan Wahbah al-Zuhayli.

Menurut Wahbah al-Zuhayli, “dalam percakapan umum di antara kalangan masyarakat di masa kita, wasathiyah berarti moderasi dan keseimbangan (i’tidal) dalam keimanan, moralitas dan karakter; dalam cara memperlakukan orang lain; dan dalam sistem terapan tatanan sosial-politik dan tata pemerintahan”.

Kebalikan wasathiyah adalah ekstrimisme (tatharruf) yang menurut pandangan Islam dapat berlaku bagi siapapun yang melewati batas dan ketentuan syari’ah. Tatharruf juga berlaku bagi orang yang melewati batas moderasi, pandangan mayoritas umat (ra’y al-jama’ah); dan juga bagi orang yang bertindak dalam norma dan praktik lazim sudah berlebih-lebihan dan aneh.

Muncul dan berkembangnya wacana tentang ummatan wasathan dan Islam wasathiyah di Timur Tengah merupakan respon intelektual terhadap kecenderungan meningkatnya ekstrimisme di kalangan Muslim di kawasan tersebut. Meski pada tingkat intelektual keislaman konsep ummatan wasathan dan Islam wasathiyah diterima, namun dalam praktiknya susah terlaksana.

Kesulitan penerapan paradigma Islam wasathiyah dan ummatan wasathan di berbagai kawasan Muslim di Timur Tengah atau Asia Selatan terkait dengan kuatnya sektarianisme keagamaan, kabilah, sosial, budaya dan politik. Sektarianisme yang ada berlapis-lapis baik intra-umat Islam sendiri maupun antara umat Islam dengan umat-umat agama lain.

Keadaan ini berbeda dengan umat Islam Indonesia yang umumnya menerapkan Islam wasathiyah. Tradisi umat Islam Indonesia sebagai ummatan wasathan telah terbentuk melalui perjalanan sejarah amat panjang.

Tradisi ini dimulai dengan proses Islamisasi yang berlangsung damai dengan melibatkan banyak akomodasi dan akulturasi dengan budaya lokal. Proses seperti ini di masa awal memunculkan gejala sinkretisme dengan kepercayaan dan praktek agama lokal. Tetapi sepanjang sejarah pula berlangsung gelombang demi gelombang pembaharuan Islam, yang pada inti bertujuan membawa pemikiran dan praktek kaum Muslimin Indonesia kian lebih dekat dan menjadi lebih sesuai dengan ortodoksi Islam.

Proses-proses inilah kemudian memunculkan ortodoksi Islam Indonesia. Meski dalam prinsip-prinsip pokok aqidah dan ibadah hampir tidak ada beda antara kaum Muslimin Indonesia dengan saudara-saudara seiman-seislam mereka di tempat-tempat lain, jelas pula terdapat distingsi Islam Indonesia.

Salah satu distingsi utama kaum Muslimin Indonesia itu adalah kepenganutan pada paradigma Islam wasathiyah. Dengan paradigma dan praksis wasathiyah, umat Islam Indonesia dapat tercegah dari sektarianisme keagamaan, kesukuan dan sosial-politik yang bernyala-nyala. Karena itulah kaum Muslimin Indonesia yang memiliki kecenderungan pem

Tuesday 15 November 2016

Tentang HTI, Liberal, Ahlussunnah wal jama'ah dll

Setiap orang punya masa - masa pencariannya masing - masing. Berdebat panjang lebar tentang apa saja, termasuk ideologi agama yang dianutnya.

Dan jika boleh bilang, ini adalah serpihan salah satu yang paling berkesan buat saya. Saat saya dan kawan kawan lain yang saling silang ideologi berkumpul di salah satu lapak FB kawan saya. Silahkan nikmati komentar - komentar di status ini.

Dan salah satu komentar dari kawan saya yang mungkin bisa memberikan pencerahan pula bisa disimak di bawah ini. (Tulisan ini juga bisa ditemukan di antara komentar di lapak kawan saya yang juga diposting ulang oleh penulisnya di akun fbnya)

====
Oleh : Mumtazal Admi
Ini komentar panjang, anggep aja cerita pengantar tidur yaaa, hehehe
1. Mengenai tuduhan Liberal
2. Kebenaran kritik atas Felix Siaw dan HTI
3. Menyikapi dinamika Pergerakan Islam
4. Penutup

====

1. Mengenai Tuduhan Liberal
Apa yang dilakukan Gina memang sebuah blunder yang cukup serius buat beberapa orang yang sangat sensitif terhadap JIL. Hanya saja, sampai sekarang kita tidak punya definisi khusus mengenai "liberal". Yang ada hanya definisi mengenai JIL, bukan Liberal itu sendiri. Kadang, orang-orang yang bicara toleransi, plurarisme, dll langsung dicap liberal. Padahal, kalo "liberal" sekadar diartikan sebagai "orang-orang yang bebas alias lebih sering menggunakan akal" maka SEMUA ORANG yang hari ini memiliki slogan "KEMBALI PADA AL QUR'AN DAN HADITS" adalah juga liberal. Kenapa? Karena mereka tidak memahami Al Qur'an dan Hadits itu melalui pemikiran madzhab yang valid dan bersambung ke Rasulullah.

Sekedar informasi, setiap hadits ataupun ayat yang keluar dari lisan para penceramah di kampung2 malah lebih murni, karena mereka mengucapkan apa yang telah diucapkan gurunya. Gurunya mengucapkan apa yang didengar dari guru-dari-gurunya. Teruuuuuus bersambung sampai kepada Imam Syafi'i. Imam Syafi'i dapat dari Imam Malik, Imam Malik dapat dari Nafi', Nafi' dari Ibnu Umar, dan Ibnu Umar dari Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Tidak hanya membaca, tapi ketemu langsung dengan guru. Kalo ada keliru, langsung dikoreksi. Kalau ada sesuatu, langsung bisa dicontohkan sehingga sama persis dengan yang Rasulullah ajarkan.

SEMUA ORANG yang hari ini memiliki slogan "KEMBALI PADA AL QUR'AN DAN HADITS" biasanya tidak punya jalur semacam itu. Kalo ditelusuri ke guru-gurunya, tidak ada sambungan kepada Rasulullah. Mereka terputus. Karenanya, segala pemikiran langsung diambil dari Al Qur'an dan Hadits. Dengan tafsiran siapa? Tentu dengan tafsiran sendiri. Tidak seperti para penganut madzhab yang menafsirkan segala sesuatu seperti ditafsirkan ulama, yang bersambung sampai Rasulullah. Artinya, secara tidak langsung para penganut madzhab ini menafsirkan Al Qur'an dan Hadits dengan tafsiran Rasulullah, yang diajarkan kepada Ibnu Umar, lalu diajarkan kembali kepada muridnya, lalu dilanjutkan lagi, teruuuuuuus sampai ke kita 

Karena itu, pengertian liberal sendiri jadi agak membingungkan. Tapi dalam pembahasan ini, baiklah, kita berpedoman pada list dari Devi aja.

Dari list yang dikasih Devi, menurutku ada beberapa nama yang kurang pantas disebut liberal, misalnya Syafi'i Ma'arif (dari Muhammadiyah) dan Said Agil Siradj (dari NU). Dari ceramah dan tausiyahnya (di TV, majalah, dll) aku ndak melihat keduanya liberal, bahkan beliau berdua sangat kental ke-Muhammadiyah-an dan ke-NU-an nya.

Di Aswaja TV, Said Agil Siradj bahkan kelihatan sangat menguasai khazanah dan mengingatkan jamaahnya buat tetap berpegang pada ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Beliau juga menjelaskan mengenai Syiah, Ahmadiyah dan Liberal sendiri, yang kata beliau pola pikirnya mirip dengan Mu'tazilah. Tapi setelah penjelasan itu, beliau tetap menyarankan jamaah buat berpegang pada ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah saja, jangan yang aneh-aneh.

Dari sini saya mau menyatakan keprihatinan bahwa akhir-akhir ini tuduhan Liberal sangat gampang terucap. Kenapa? Karena itulah satu2nya cara termudah untuk mengeluarkan seeorang dari Islam. Kenapa ini terjadi? Karena bangunan Ahlussunnah Wal Jamaah (dalam hal ini diwakili NU dan Muhammadiyah) yang begitu kokoh dan tidak mudah goyah. Maka, tokohnya dituduh liberal. Selanjutnya, tinggal bikin fatwa bahwa Liberal itu di luar Islam alias Kafir, gampang kan?

Gejala ini tidak hanya menggunakan label liberal, melainkan juga Syiah. Bahkan tokoh selevel Habib Rizieq juga dituduh Syi'ah (Walaupun aku nggak setuju ama aksi FPI, tapi FPI dan Habib Rizieq itu Ahlussunnah Wal Jamaah!). Langkah selanjutnya : menyebarkan propaganda bahwa Syiah bukan Islam! Astaghfirullah... Begitu mudahnya takfir (tuduhan kafir) dilakukan oleh orang-orang itu.

Karena itu, kita musti menahan diri dari perilaku semacam itu. Media juga mempengaruhi kita. Kalau kita akrab dengan media pro-takfir, maka lama-kelamaan akan mudah juga bagi kita untuk melakukan hal serupa...
Apakah dengan Gina nge-share dari page Gus Dur, lantas tuduhannya jadi patah? tunggu dulu... Kita bahas di bagian 2.

2. Kebenaran kritik atas Felix Siaw dan HTI
Kritik atas Felix Siaw dan HTI ternyata tidak hanya datang dari massa pro-Gus Dur (yang mungkin dianggap liberal). PKS (alias IM : Ikhwanul Muslimin) juga tidak suka HTI. Pernah ada cerita, mentoring/liqo' di salah satu kampus, ada mentee yang ketahuan ikut HTI. Besok2nya dia gak diajak mentoring lagi. Wahabi juga tidak suka HTI. Syi'ah juga juga tidak suka HTI. Liberal juga tidak suka HTI Dst. Dan begitu pula sebaliknya... Adanya jamaah-jamaah ini pastilah karena ada perbedaan satu sama lain. Kalau mereka satu ide, ngapain bikin jemaah baru, iya kan? maka dari itu, wajar jika satu sama lain saling bertentangan.

Sudah banyak pihak yang mengkritik Felix Siaw (search aja di gugel ya, pake kata kunci "kritik Felix Siaw"). Ada yang mengkritik pemikirannya soal khilafah, soal hak cipta yang kata dia tidak diakui dalam Islam, soal industri migas, dan lain-lain. Dan para kritikus itu sama sekali bukan orang liberal. Mereka masyarakat awam yang paham mengenai bidang tsb (bidang syariah, bidang hak cipta, bidang migas, dll) dan menganggap pemikiran Felix Siaw ini memang keliru.

Memang terlihat sekali twit, postingan dan ulasan dari Felix Siauw seingkali terbawa hawa nafsu. Dan kenyatannya, masyarakat suka yang begitu. Banyak orang males dengerin ceramah soal akhlak, sabar, tawakkal, dll tapi langsung semangat ketika mendengar kata Jihad, Konspirasi!, Pemerintah yang Dzalim, dan yang serupa. So, kita ndak salahkan Felix 100%, toh memang ada pasarnya, hehe. Kalo dia ndak bikin sesuatu yang WOW, bisa-bisa fansnya pada pergi xD

Artinya, kita ndak bisa menolak begitu saja pendapat yang menganggap pemikiran Felix mengenai Nasionalisme adalah keliru. Habib Lutfi nasionalis, tapi beliau bukan liberal. Banyak ulama yang nasionalis, dan mereka bukan liberal. Jadi, kita tidak bisa menuduh setiap orang yang mengkritik HTI sebagai Liberal. Kalaupun para kritikus itu liberal, so what? Misal nih, ada orang PKS yang pingin menjatuhkan HTI. Tentu dia akan cari semua argumen buat menjatuhkan HTI. Argumen dari liberal pun sah sah aja buat diambil, asalkan dia sendiri tetep seorang PKS. Keyakinannya tidak berubah sebagai seorang PKS, hanya saja dia mengambil amunisi dari Liberal buat menembak HTI. Bukankah hal itu biasa dalam peperangan? Dan karena banyaknya pergerakan Islam, mereka saling berkompetisi. Bukankah kompetisi itu mirip dengan suatu peperangan? Lalu bagaimana kita menyikapinya?

3. Menyikapi dinamika Pergerakan Islam
Pertama, kita perlu mengetahui peta pergerakan Islam dan ambil posisi! Saranku sih, ambil posisi dalam Firqah Najiyyah (Golongan Selamat) yang dijanjikan Rasul, yaitu Ahlussunnah Wal Jamaah. Mereka itu Mayoritas Umat Islam (Sawad Al A'zham). Kata "Jamaah" dalam Ahlussunnah Wal Jamaah sendiri berarti mereka itu jamaah yang isinya banyak orang. Kalau di Indonesia, maka Ahlussunnah Wal Jamaah itu jelas sekali direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah.

Kedua, kalau ada gesekan di antara kelompok tersebut, sikap terbaik adalah "just sit back, and wait for the result..."
Biarin aja Ahmadiyah, Syiah, Liberal, Wahabi, PKS, HTI pada berantem satu-sama lain. Doakan saja mereka semua habis dan saling membuka borok masing-masing. Umat Islam silakan duduk manis dan berpegang pada keyakinannya yang benar... 
Kecuali bila Ahlussunnah Wal Jamaah "diserang" (Misalnya saat IM menyerang Al Azhar yang merupakan representasi Ahlussunnah Wal Jamaah di Mesir dengan berbagai hinaan dan pemelintiran berita), maka kita wajib bertindak. Oiya, kalau mau konsisten dengan langkah pertama (mengetahui peta pergerakan Islam) maka kita juga perlu hati-hati mengambil sumber berita/pendapat, supaya orang yang kita ajak bicara bisa menerima pernyataan kita. Tapi hal itu bukanlah yang utama. Yang penting, bertindak dulu aja. Bela keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah bagaimanapun caranya.
Kalau di sini ada yang kontra-HTI, ya silakan serang HTI bagaimanapun caranya, karena di negaranya sendiri, HTI ini dilarang. HTI juga sering gegabah menuduhkan suatu pemerintahan sebagai thaghut, demokrasi kafir, dst. Parahnya, kadang rakyat pengikut demokrasi juga dianggap kafir karena pengikut demokrasi. Di sini sih aku belum lihat. Tapi kalau ada yang melihat gelagat ataupun pernyataan semacam itu, berarti dia sedang menyerang mayoritas umat, menyerang Ahlussunnah Wal Jamaah. Kalau terjadi yang demikian, silakan serang HTI bagaimanapun caranya. Bela umat Islam...

Ketiga, jangan mudah mengkafirkan, apapun alasannya. Takfir sangatlah berbahaya. Walaupun kita meyakini Ahlussunnah Wal Jamaah itu benar, bukan berarti kita jadi gampang mengkafirkan. Ahmadiyah, Syiah, Liberal, Wahabi, PKS, HTI semuanya ISLAM. Tentu saja, dengan penyimpangannya masing-masing 

4. Penutup
Di sini aku sama sekali tidak ingin merubah pendirian seseorang atau sekelompok orang. Entah kenapa, aku gak terlalu yakin posting dan komentar di FB itu gak bisa jadi sumber hidayah, apalagi diskusi semacam ini, karena diskusi agama semacam ini biasanya lebih pada menyatakan dan mempertahankan pendapat. Aku cenderung pada menyatakan pendapat aja. Mau dibantah pun, terserah. Mau diajukan argumen lain, sekarepe. Soale aku wis kadung cinta karo Ahlussunnah Wal Jamaah, NU dan Muhammadiyah... hehehe

Kata Buya Yahya (Cirebon), apapun pergerakannya, asalkan pergerakan itu : 1. Mengikrarkan diri berqqidah Asy'ariyyah wal Maturidiyyah, 2. Bermadzhab, 3. Tidak anti-tasawwuf, maka harus kita dukung karena itu sama dengan kita (Ketiganya adalah ciri Ahlussunnah Wal Jamaah). Itulah juga kenapa aku bilang Ahmadiyah, Syiah, Liberal, Wahabi, PKS, HTI semuanya ISLAM tapi dengan penyimpangannya masing-masing.

Tapi kalo ada yang tanya hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah, aku yo gak begitu ngerti, hehehe. Ibaratnya ada orang yang suka banget sama Indonesia dan pingin jadi Indonesia, tapi gak ngerti Indonesia itu apa (Emangnya Indonesia itu artinya apaan ya? Hehehe) Nah, aku juga cinta, suka banget dan kalo disuruh milih ataupun memihak, maka aku akan pilih Ahlussunnah Wal Jamaah. Kebetulan, di Indonesia ini diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Kalo di Mesir, oleh Al Azhar. Ya gitu deh, susah dijelasin dengan kata-kata. Pokoke Ahlussunnah Wal Jamaah forever dah, hahaha :D

Sekali lagi, tujuanku cuma menyampaikan pendapat/pandangan. Kalau mau berdiskusi lebih jauh, ya monggo. Bakal tak layani sejauh pengetahuanku. Asal jangan berharap aku berharap pendirian. Soal paham, itu urusan kita buat menjelaskan. Soal hidayah, itu urusan Allah buat memberikan...
Semoga Allah memberikan hidayah buat kita semua ya

Dan semoga persahabatan kita di dunia nyata tetap terjalin dengan baik. Wong sama non-muslim aja kita berteman kan, apalagi sama yang sama-sama Islam. Eman-eman lah kalo misal hubungan kita yang sudah baik malah berubah...
Right or wrong, you're my friend. If you're right, just keep it right. If you're wrong, let "US" fix it 

Terimakasih atas perhatiannya
Sekian 

Monday 14 November 2016

Menikmati Demokrasi

Membangun kehidupan yang islami adalah sebuah proyek peradaban raksasa. Proyek besar bertujuan merekonstruksi pemikiran dan kepribadian manusia muslim agar berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah swt. Atau dengan referensi Islam. (pg.6)

***

Tahapan Dakwah :
1. Mihwar tanzimi : yaitu membangun organisasi yang kuat dan solid sebagai kekuatan utama yang mengoprasikan dakwah.

2. Mihwar sya’bi : yaitu membangun basis sosial yang luas dan merata sebagai kekuatan pendukung dakwah. Kalau basis organisasi bersifat elitis – eksklusif, maka basis sosial bersifat masif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi pada kualitas, basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau pemimpin melihat kedepan dengan pikiran - pikiran yang jauh, massa menjangkau dengan tangan2nya yang banyak. Kalau organisasi dibentuk melalui rekrutmen kader, massa dibentuk melalui opini publik.

3. Mihwar muassasi : yaitu membangun berbagai institusi untuk mewadahi pekerjaan – pekerjaandakwah di sektor kehidupan dan di seluruh segmen masyarakat. Kita memerlukan semua wadah sosial, ekonomi, politik, untuk mewadahi semua aktifitas sosial, ekonomi dan politik. Selain itu juga harus memasuki institusi sosial, ekonomi, politik dan militer yang sudah ada.

3. Mihwar dauli : yaitu tahap memasuki institusi negara. Untuk merealisasikan dakwah secara legal dan kuat. Negara adalah sarana (untuk menyebarkan kebaikan), bukan tujuan. Kebenaran harus punya negara karena – kata ibn Qoyyim—kebatilan pun punya negara.
(pg.8-11)

***

Ketika dakwah memasuki era keterbukaan (jahriyah) yang dibutuhkan, kata Syekh Muhammadd Ahmad Al-Rasyid adalah jumlah kader yang cukup, situasi politik yang kondusif, penerimaan yang baik dari masyarakat, dan tersedianya kendaraan yang akan digunakan.

Perdebatan antara ‘islam budaya” dan “ islam – politik “ yang marak sepanjang 80-an dan 90-an adalah debat yang ‘kontra-produktif’ dalam proses pembangunan umat. ... Gerakan sosial budaya atau mobilitas horizontal itu bertujuan mengkondisikan umat secara spiritual, intelektual, emosional dan fisik untuk melaksanakan islam dalam kehidupan meraka secara menyeluruh. Sementara gerakan politik praktis bertujuan menyambut arus tuntunan umat itu secara legal konstitusional.(pg. 20)

***

Secara historis kemudian kita lihat bahwa penjajahan Eropa atas Dunia Islam, munculnya penguasa - penguasa tiran, dan pemerintahan represif setelah kemerdekaan, telah mematikan potensi umat secara keseluruhan. .. (Kita lalu menemukan jawaban, mengapa?) di atas wilayah geografis yang sangat luas, sumber daya alam yang sangat kaya, dan sumber daya manusia yang sangat banyak, kaum muslimin menjadi masysrakat paling miskin, paling bodoh, dan paling terbelakang di duniaa. (pg.21-22)

***

Di balik semua hikmah yang kita peroleh dari tekanan politik-militer para penguasa tiran terhadap gerakan dakwah di berbagai negara Islam, serta proses pendewasaan dari konflik panjang antara gerakan Islam dan Negara, tapi harus diakui bahwa penghadap - hadapan seperti itu telah menguras begitu banyak energi peradaban kita, tentu saja disamping luka –luka historis yang secara psikologis selalu mengganggu hubungan Islam dan Negara. (pg.23)

***

Allah SWT sesungguhnya meletakkan ujian bagi kita, para duat : bagimana menyepadankan kebenaran Islam dengan kesalihan manusianya dan menyamakan kebesaran Islam dengan kehebatan manusianya. Ini semua supaya politik tidak lagi menjadi “tugas yang sedih” dan tidak lagi “terkutuk” hanya karena ia harus “menerjemahkan nilai – nilai ke dalam dunia fakta – fakta”.(pg.29)

***

Kesalahan Goenawan Mohammad, seperti juga banyak sosial politik lainnya adalah, dia tidak melihat sejarah secara utuh : bahwa selain sejarah kelam juga ada cerita sejarah yang putih. Apakah cerita kemakmuran dan keadilan dari sejarah Karajaan Nabi Sulaiman dan negara yang didirikan oleh Nabi Sulaiman dan negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad bersama Khulafah Rasyidin bukan sebuah fakta sejarah ? Yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa ada orang – orang masjid yang juga pernah punya cerita sukses di pasar, di parlemen, dan di istana, namun ada juga yang gagal. .. bahwa ada “ Alqur’an” yang sedang berjalan di pasar, berdebat di parlemen, bekerja di kabinet, dan memimpin sebuah negara. (pg.27-28)

Kesalahan orang – orang seperti Goenawan Mohamad adalah mereka tidak memaafkan orang – orang masjid yang bersalah, sementara orang – orang jalanan yang bersalah dianggap sebagai suatu kewajaran karena memang begitu naturalnya. (pg.29)

***

Dimanakah letak titik keseimbangan negativitas dengan kesucian yang ingin kita bawa ke dunia orang ramai? Jawabnya, terletak pada model masyarakat yang ingin kita bangun. Bahwasanya, masyarakat Islam adalah komunitas manusia biasa, bukan masyaraat malaikat yang “serba bersih”. (pg.28)

***

Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan. Para mafia narkoba harus mencuci uangnya agar bisa menjadi hak milik yang legal. (pg.33)

***

Maka, semua orang menikmati demokrasi. Para kapitalis menimati demokrasi karena inilah payung politik yang memberi akses ke semua sudut pasar potensial. Para buruh juga mrnikmati demokrasi karena inilah payung politik yang memberi perlindungan hak-hak dan kebebasan bekerja. Kelompok minoritas dalam semua bentuknya, termasuk minoritas nilai (atau yang secara kasar kita sebut menyimpang), juga menikmati demokrasi karena hak hidup mereka terlindungi disini.(pg.32)

***

Tapi, kenikmatan ini ada harganya. Terutama bagi dakwah. Kita memang bebas berdakwah, tapi para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku disini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan, sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi.(pg.33)

***

Maka penetrasi kekuasaan dalam negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan :

Pertama, menangkan opini publik agar opini publik berpihak kepada kita. Inilah kemenangan pertama yang mengawali kemenangan2 selanjutnya.

Kedua, formulasikan wacana itu kedalam draf hukum untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui legislatif. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi negara untuk mengekseusinya.

Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.(pg.33)

***

Membahasakan Pemikiran

Ada beberapa syarat,
Pertama, adalah kekayaan pemikiran yang ditentuka oleh dua hal yaitu kakayaan serta keorisinalitas referensi (Al Qur’an dan Sunnah, red) dan kemampuan mengeksplorasi referensi dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman (Ijtihad untuk menemukan mutiara - mutiaranya).

Kedua, struktur pemikiran tersebut harus solid. Ini berpengaruh pada tiga hal :
Pertama, pada tingkat kejelasan pikiran dalam benak kita dan pada keseluruhan susunan kesadaran kta.
Kedua, pada tingkat kayakinan kta terhadap pemikiran tersebut, yang biasanya selalu tinggi.
Ketiga, pada kemampuan kita membahasakannya atau pada daya ungkap kita yang tercipta dari kejelasan pikiran tersebut.

Ketiga, kayakinan kita meyakinkan publik.(pg.39)

***

Meyakinkan Publik

Ada beberapa hal yang harus dikuasai,
Pertama, pada penguasaan teoritis terhadap pikiran yang ingin kita sosialisasikan.
Kedua, pada penguasaan kita tentang struktur pemikiran orang lain dan varian – varian yang membentuknya.
Ketiga, pada kejelian kita dalam menentukan entry point yang tepat untuk melakukan penetrasi terhadap pemikiran orang lain.
Keempat, pada kemampuan menemukan format bahasa yang tepat dengan struktur kesadaran, bentuk logika, kecenderungan estetika kebahasaan, dan situasi psikologis, serta momentum yang mengkorelasi pikiran kita dengan suasana mereka.
Akhirnya kita sampai pada penjelsan dari sabda Rosulullah, “ Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat pemikiran mereka.”
(pg.39)

***

Snouck Hourgronje mungkin orang paling berjasa bagi pemerintah Hindia Belanda. Jasanya terbesar adalah usulan kebijakan tentang bagaimana pemerintah Hindia Belanda “menghadapi” ummat Islam di Indonesia, yang efektif. Usulan itu antara lain
Pertama, jangan ganggu umat muslim melaksanakan semua jenis ibadahnya,bahan fasilitas mereka untuk itu.
Kedua, jangan gangu kaum perempuan.
Ketiga, jangan ganggu para ulama.(pg.43)

***

Bahwa para pemikir “ideolog” ( Sayyid Quthub, Muahammad Qhutub, Muhammad Al Ghazali, dan Yusuf Qardhawi dari Mesir, Al Maududi dari Pakistan, dan Al Nadawi dari India) telah melaksanakan tugasnya membangun fondasi pemikiran yang kuat. Kini tiba saatnya pemikir strategi bertugas menyusun langkah – langkah strategis untuk mencapai cita – cita dakwah. (pg 48)

***

Para pemikir strategi harus mempunyai basis yang kuat pada dua lingkaran pengetahuan. Pertama, basis Ilmu ilmu keislaman. Kedua, basis ilmu – ilmu sosial humaniora. Selama ini ada kesan bahwa para aktivis dakwah justru menghindari ilmu – ilmu sosial dengan alasan muatannya yang sangat sekuler.(pg.47)

Karena, basis ilmu- ilmu keislaman dan pengalaman tarbiyah bukan saja akan memberikan imunitas kultural dan pemikiran, tapi juga kemampuan memilah dan mencipta sesuatu yang baru. Sebagaimana cerita Al Qur’an tentang susu : datangnya dari antara kotoran dan darah.(pg.47)

***

Seni berkawan dan seni berkoalisi bukan hanya menuntut kemampuan mengartikulasikan diri dan nilai – nilai kita secara baik dan mempesona, melainkan juga menuntut kemampuan memahami orang lain. Memasuki ruang akal dan hati mereka, mengelola perbedaan – perbedaan menjadi kekuatan dinamis dan mengantisipasi potensi ancaman untuk tidak terkristalisasi menjadi kekuatan destruktif. (pg. 51)

***

Pengukuran kauntitatif dalam sistem demokrasi dilakukan melalui pemilihan umum. Kenyataan ini mengharuskan kita mengaitkan aktivitas – aktivitas dakwah dengan rencana pemenangan pemilu, dan berhitung bahwa harus ada sesuatu yang (bisa disebut sebagai) “efek kuantitatif” dari kebaikan – kebaikan yang kita tebar di tengah masyarakat. Kita harus berani untuk kelihatan “sedang berbuat baik” dan mau memperlihatkan bahwa “kita selalu berbuat baik.” Celakanya disini ada ironi tentang keikhlasan : ini bukan riya’ tetapi memang bisa menggoda ke arah situ.(pg.50)

***

Kita memang – seperti kata Rosulullah – menjadi “tahi lalat” ditengah masyarakat : kebaikan kita terlihat dan hal itu mempunyai efek kuantitatif – dimana popularitas orang soleh menjadi pesona yang menggoda masyarakat mengikuti jalan kebenaran.(pg.50)

Inilah seni paling rumit dalam dunia politik : bagimana mengubah kekuatan penghambat menjadi kekuatan pendukung, dan bagaimana mengubah lawan menjadi kawan. Seribu kawan dalam politik tidaklah cukup, tetapi satu musuh itu sudah terlalu banyak. (pg.51)

Ancaman yang paling berat dalam dunia politik adalah isolasi. (pg.51)

***

Kader pemimpin yang kompeten, kostituen yang banyak, koneksi politik yang luas, dan kelompok pemikir strategi yang handal : itulah segenap keuatan yang kita perlukan untuk menegara. (pg. 53)

***

Lebih lanjut tentang Menikmati Demokrasi di Goodreads.

Mengapa Kita Bermazhab ?

Terdapat pertanyaan yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, “Kenapa kita harus bermazhab?”, “Bukannya kita diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya, dan bukan para imam mazhab?”, atau “Bahkan para imam mazhab pun melarang kita untuk bertaklid kepada mereka!”

Pertanyaan itu pun sempat berputar di kepala saya selama beberapa tahun hingga saya mencari jawabannya dan akhirnya saya mendapatkannya. Setidaknya terdapat tujuh poin penting yang kita dapatkan dalam bermazhab. Saya akan jelaskan satu persatu, semoga bermanfaat.

Pertama. Mazhab-mazhab fikih itu Musannadah, atau memiliki sanad dalam setiap perkataan dan pemahamannya. Sanad merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan beragama seorang muslim. Ibnu Sirin, salah seorang ulama generasi tabiin berkata, “Awalnya mereka (kaum muslim saat itu) tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah mereka berkata beritahu kami siapa orang (yang kau ambil ilmunya)! Lalu dilihatlah para kaum ahlusunah dan hadis mereka diambil, dan dilihatlah kaum ahli bidah dan hadis mereka tidak diambil.”

Dalam riwayat lain dari Ibnu Sirin, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian!”

Awalnya Rasulullah mengajarkan agama ini kepada para sahabat. Para sahabat pun memiliki derajat pemahaman terhadap agama yang berbeda-beda karena beberapa sebab. Maka dikenallah beberapa orang sahabat yang tidak hanya meriwayatkan hadis dariRasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, namun juga mereka dikenal sebagai para mujtahid dari para sahabat. Di antaranya adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah binti Abu Bakar.

Saat Rasulullah tiada, para sahabat ini beserta para sahabat lain berpencar ke berbagai penjuru daerah untuk menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah. Ibnu Mas`ud menetap di Kufah, Ibnu Umar menetap di Madinah, Abu Musa al-Asy`ari di Yaman, Anas bin Malik di Bashrah, dan Amru bin al-`Ash di Mesir. Dan di generasi selanjutnya, terdapat dua aliran besar dalam Islam yaitu madrasah ahlu ra`yi, para murid dari Ibnu Mas`ud di Kufah dan madrasah ahlu hadis, para murid dari Ibnu Umar di Madinah.

Dari dua madrasah inilah kemudian muncul imam Abu Hanifah di Kufah dan imam Malik bin Anas di Madinah. Kemudian muncul Imam Syafi`i yang belajar kepada imam Malik dan imam Muhammad bin al-Hasan As-Syaibani murid dari imam Abu Hanifah. Kemudian muncul imam Ahmad bin Hanbal yang belajar kepada imam Syafi`i. Para imam itu kemudian mengajarkan ilmunya kepada generasi-generasi selanjutnya dengan cara yang sama. Penjelasan tentang sanad dalam mazhab Syafi`i saja akan menghabiskan banyak sekali lembaran catatan yang berisi nama, tahun wafat, nama guru dan muridnya.

Sanad merupakan salah satu sebab kenapa ajaran agama Islam bisa bertahan dan tidak berubah laiknya agama Yahudi dan Nasrani. Maka, menjaga tradisi beragama melalui sanad dalam mazhab juga merupakan jalan untuk menjaga agama ini dari serangan tangan-tangan orang luar Islam.

Kedua. Mazhab-mazhab fikih itu Makhdumah, menjadi bahan penelitian yang sangat serius. Awalnya bermula dari kitab yang dituliskan oleh imam mazhab ataupun oleh muridnya, kitab itu kemudian diringkas, diteliti dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ringkasan itu kemudian kita kenal sebagai matan yang kemudian disyarah oleh generasi selanjutnya. Syarah dari matan itu pun kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk hasyiah, kemudian diberi komentar-komentar oleh generasi selanjutnya. Tidak berhenti di situ, terkadan sebuah matan kembali diringkas, ditambahi, kemudian dijelaskan, dan begitu seterusnya. Maka, akan terdapat silsilah kitab yang jelas di setiap mazhab.

Contohnya dalam mazhab Syafi`i. Terdapat empat kitab yang diwariskan oleh Imam Syafi`i dan muridnya, yaitu kitab al-Umm, al-Imla’, Mukhtasar al-Buwaythi, dan Mukhtasar al-Muzani. Mukhtasar al-Muzani kemudian disyarah oleh tujuh orang ulama generasi setelahnya dan diringkas oleh satu orang hingga terdapat delapan buah kitab muktamad yang berasal darinya. Salah satunya adalah kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab karya imam Haramayn al-Juwayni yang kemudian diringkas oleh imam al-Ghazali menjadi tiga kitab, yaitu al-Basith, al-Wasith, dan al-Wajiz.

Al-Wajiz kemudian disyarah oleh imam Rafi`i menjadi Fath al-`Aziz yang kemudian diringkas lagi oleh imam Nawawi menjadi Rawdhah al-Thalibin dan imam Qazwini menjadi al-Hawi al-Shaghir. Kedua kitab itu pun masih diringkas, lalu disyarah, dan syarah itu kemudian disyarah, dikomentari, dan ditambahi hinga menjadi belasan kitab lainnya.

Selain itu terdapat tiga kitab utama dari kalangan ulama Syafi`i muta’akhir, yaitu al-Lubab, al-Muharrar, dan Ghayah al-Ikhtishar. Ketiga kitab itu pun disyarah, diberi hasyiah, terus dan terus dikaji hingga silsilah kitab dalam mazhab Syafi`i bisa tergambar jelas dalam sebuah diagram pohon silsilah yang panjang.

Ketiga. Mazhab-mazhab itu Mudallalah, yaitu setiap hukum yang terdapat di dalamnya memiliki landasan baik dari al-Quran, sunah, maupun sumber hukum lainnya sesuai dengan metode ijtihad dari masing-masing mazhab. Perbedaan pendapat di antara mazhab satu dengan lainnya bukanlah didasarkan atas akal-akalan para ulama mazhab, namun karena perbedaan metode, pemahaman, penilaian terhadap riwayat, situasi tempat tinggal, dan beberapa sebab lain.

Contohnya saja dalam masalah Basmalah dalam surat al-Fatihah. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah bukan termasuk surat al-Fatihah, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah termasuk surat al-Fatihah. Dalam membacanya pun terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Semuanya memiliki dalil dan metode sendiri-sendiri yang menyebabkan perbedaan pendapat ini.

Keempat. Mazhab-mazhab itu memiliki akar yang menyambung kepada imam masing-masing. Dan perbedaan imam tersebut menjadikan perbedaan kaidah-kaidah dan metode ijtihad yang berbeda satu sama lain. Di dalam fikih mazhab Syafi`i terdapat lima kaidah utama yang dijelaskan oleh imam al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa al-Nadza’ir, yang lima kaidah itu belum tentu ada di mazhab lainnya.

Kelima. Mazhab-mazhab itu memiliki metode sendiri dalam pengajarannya. Setiap mazhab memiliki metode yang berbeda dalam setiap tingkatan untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam menyerap dan memahami fikih sesuai dengan kemampuannya.
Misalkan dalam mazhab Syafi`i terdapat kitab Safinah al-Najah untuk pemula dengan berbagai syarahnya, kemudian diteruskan dengan kitab al-Ghayah wa al-Taqrib untuk tingkat selanjutnya juga dengan berbagai syarahnya, kemudian ada kitab Fath al-Mu`in, al-Muhadzab, Minhaj al-Thalibin, dan kitab-kitab lain hingga jika seorang murid telah mampu untuk membaca dan memahami ia bisa menelaah sendiri kitab-kitab yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi`i.

Seorang pelajar pemula akan lebih cepat memahami dan mempraktekkan apa yang ia pahami jika telah dibuat ringkas sebagaimana matan Safinah al-Najah. Jika anda membuka matan kitab itu, maka anda akan melihat bahwa di dalamnya hanya terdapat hal-hal yang utama untuk diketahui lebih awal oleh para pemula. Kitab itu hanya memuat bab rukun Iman dan Islam, bab bersuci, bab salat, bab jenazah, bab zakat, puasa dan haji dengan penjelasan yang sangat singkat. Karena hal itulah yang paling utama untuk diketahui dan diamalkan oleh pemula sesaat setelah mereka balig.

Berbeda dengan matan al-Ghayah wa al-Taqrib yang isinya lebih lengkap, dan berbeda juga dengan matan Minhaj al-Thalibin yang di dalamnya disertai dengan perbedaan pendapat antara ulama-ulama di dalam mazhab Syafi`i.

Hal itu berbeda jika pembelajaran dimulai menggunakan kitab yang berisi hadis-hadis dengan sedikit komentar di dalamnya. Sebuah hadis bisa saja memiliki dua hingga lima maksud yang berbeda yang hal itu akan sangat menyulitkan bagi para pemula. Belum lagi bahwa diperlukan waktu yang lama untuk mempelajari seluruh hadis sahih yang ada dalam bab bersuci, lalu kapan bab salat, puasa dan haji akan dipelajari? Bagaimana jika ketika seorang pelajar telah memasuki usia balig namun ia baru sampai di bab bersuci?

Matan kitab-kitab tersebut adalah hasil ijtihad dari penulis kitab itu sesuai dengan metode yang telah ia pelajari. Memang, di dalam matan-matan itu jarang sekali terdapat dalil baik dari al-Quran ataupun sunah. Namun pendalaman akan dalil-dalil itu bisa diperdalami di kemudian hari saat seorang pelajar telah siap untuk hal itu.

Seorang muslim akan bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah sejak ia masuk usia balig. Maka, hal-hal yang harus dipenuhi pertama kali adalah hal yang menunjang ia dalam beribadah di saat itu.

Keenam. Mazhab - mazhab itu telah terkodifikasi, dan telah terkomparasikan antara satu dan lainnya. Pada tinggat selanjutnya, seorang pelajar akan bertemu dengan pelajaran fikih perbandingan mazhab yang mana di sana ia akan bertemu dengan perbedaan pendapat antara mazhab satu dan lainnya. Di sana juga ia akan mengenali perbedaan pendapat, dalil dan metode ijtihad yang telah menjadi ciri dari mazhab-mazhab itu sendiri.

Seluruh pendapat dan metode ijtihad itu merupakan bangunan tradisi keilmuan fikih yang sangat megah yang jika mazhab - mazhab itu dihapuskan maka usaha dan pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini tak lagi ada harganya. Ini juga merupakan salah satu upaya penghargaan atas jerih payah dan pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini. Semoga Allah membalas mereka dan menempatkan mereka di tempat yang layak.

Ketujuh. Terakhir, dengan kodifikasi mazhab - mazhab tadi maka setiap mazhab telah memiliki metode ijtihad sendiri yang dapat dijadikan landasan dalam menghadapi hal-hal baru yang tidak ada sebelumnya dan perlu dicarikan hukumnya. Jika bermazhab dilarang, maka para mujtahid di masa yang akan datang akan terputus dari metode ijtihad yang telah ada pada generasi sebelumnya.

Maka, bermazhab itu bukanlah soal mengikuti pendapat imam A dan meninggalkan hadis yang ada, namun lebih dari itu. Bermazhab itu mempelajari metode ijtihad dalam menggali hukum dari al-Quran dan hadis. Bermazhab itu melestarikan tradisi keilmuan fikih Islam yang telah dibangun sejak zaman Rasulullah dan para sahabat. Bermazhab itu memberikan penghargaan kepada para pendahulu kita yang telah memberikan sumbangsih yang tiada tara kepada peradaban keilmuan Islam secara keseluruhan. Bermazhab itu adalah salah satu cara untuk menjaga agama ini agar bertahan dari serangan pihak lain hingga hari akhir nanti. Semoga bermanfaat.
 
Fahmi Hasan Nugroho,
Mahasiswa Tingkat III, Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar-Kairo.

Referensi :

- Al-Fawa’id al-Makiyah, fi ma Yahtajuh Thalabah al-Syafi`iyah min al-Masa’il wa al-Dhawabith wa al-Qawaid al-Kulliyah, Syaikh `Alawi bin Ahmad bin Abdurrahman al-Saqqaf, Dar al-Faruq, Kairo, 2012
- Al-Ghayah wa al-Taqrib, al-Qadhi Abu Syuja` Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahani, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Safinah al-Najah, Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Shahih Muslim, Imam Muslim, Maktabah Syamilah.
- Tarikh al-Tasyri` al-Islami, Rasyad Hasan Khalil, Kairo, 2011.
- `Ulum al-Hadis, Dr. al-Khusyu`i Muhammad al-Khusyu`i, Kairo, 2011.

Sumber Tulisan : mosleminfo.com