Wednesday 22 August 2018

Kura-kura

Seekor kura-kura menantang Akhiles bertanding lari. Prajurit yang tangkas berperang dalam dongeng Yunani Kuno itu tertawa geli, tapi ia setuju.

Sadar akan keulungan fisiknya, ia memberi kesempatan si kura-kura bergerak maju lebih dulu 10 meter. Akhiles yakin dengan gampang ia bisa bergerak 10 kali lipat lebih gesit. Tapi ternyata soalnya tak semudah itu. Dalam argumen matematis, ia tak bisa menang berlomba. Tak akan bisa.

Zeno, filosof asal Italia Selatan yang hidup di abad ke-5 sebelum Masehi, membuktikan kenapa demikian: di saat ketika Akhiles mencapai posisi tempat si kura-kura mulai bergerak (K-0 = 10 meter), reptil itu, walaupun pelan, akan sudah maju ke K-1 = 11 meter. Dan ketika Akhiles mencapai K-1, penyu itu sudah akan di posisi K-2 = 11,1 meter. Demikianlah seterusnya, ad finitum: tiap kali sang jagoan yang termasyhur dalam Perang Troya itu tiba di titik tempat si kura-kura sebelumnya ada, ia sudah akan didahului.

Walhasil, Akhiles sang petarung akan kalah cepat oleh seekor kura-kura yang tak bisa berlari....

Paradoks yang dikemukakan Zeno itu (satu dari lebih dari 40 yang lain) memaksa kita berpikir. Jangan-jangan kecepatan yang kita lihat dan alami sebenarnya bukan kecepatan; jangan-jangan gerak yang kita saksikan dan mengerti sesungguhnya bukan gerak. Andai kata begitu, apa gerangan yang bisa kita ketahui tentang dunia dan kehidupan? Berabad-abad lamanya sederet matematikawan dan pemikir bergulat dengan paradoks tua itu-sejak Aristoteles pada 400 tahun tarikh Masehi sampai dengan 1.000 tahun sesudahnya. Mungkin karena akhirnya ini masalah eksistensial-bukan sekadar problem matematika.

Zeno merisaukan karena ia hendak menegaskan bahwa dalam hidup, gerak tak pernah ada. "Posisi-1 Akhiles" tak pernah pindah ke "posisi-2 Akhiles". Jika demikian, juga tak pernah ada situasi yang disebut "tadi". "Tadi" dan "kini" itu satu. Zeno, sebagaimana gurunya, Permenides, menegaskan bahwa manusia hidup dalam "kekinian yang tak berlanjut". Segala yang ada dalam alam semesta tak berubah. Waktu hanya ilusi. Yang ada hanya unggunan tak terhingga posisi yang mandek.

Tapi benarkah? Kita tahu, dari cerita di atas, pertandingan tak benar-benar terjadi di lapangan. Kemenangan Kura-kura Zeno ditarik dari analisis teoretis, dari "perhitungan di atas kertas".

Tapi seandainya pertandingan yang diatur Zeno dilanjutkan, akan kita lihat Akhiles tak berada dalam posisi mandek. Ia akan bergerak. Ia akan mengejar dan melampaui Kura-kura.

Bisakah kita, dan bagaimana kita, menunjukkan Zeno salah?

Dalam La Pensée et le Mouvant (pertama kali terbit pada 1934), Bergson-yang terkenal dengan kata-katanya bahwa "ada" berarti "berubah"-menyarankan satu cara gampang: sebaiknya kita bertanya kepada Akhiles. Dan, kata Bergson, Akhiles, yang bertanding, akan menjawab: "Aku tak bergerak dari titik demi titik yang ditinggalkan si Kura-kura. Aku ambil selangkah pertama, lalu selangkah kedua, dan seterusnya; akhirnya, setelah sejumlah langkah tertentu, aku ambil satu langkah terakhir dan dengan itu mendahului si penyu. Yang kulakukan dan kucapai adalah rangkaian laku yang tak bisa diurai dalam bagian demi bagian." Dengan kata lain, gerak lari Akhiles adalah sebuah kontinuitas penuh, "une série d’actes indivisibles".

Kontinuitas itu sederhana, tapi yang justru tak diakui Zeno; filosof ini mengetahui dunia hanya melalui analisis. Tapi kesalahan Zeno yang lebih mendasar ialah mempersamakan gerak lari dengan ruang tempat berlari-ruang yang mandek dan sebab itu dapat dibagi-bagi: K-1, K-2, K-3.... Zeno menjelaskan gerak dengan bertolak dari apa yang tak bergerak. Ia mencampur-baurkan gerak dengan barang yang mandek.

Bergson sebaliknya. Gerak, itulah yang segalanya di sana. Baginya, gerak bukanlah sebuah posisi yang diikuti sebuah posisi berikutnya-dan seterusnya. Ada alur (passage), tapi alur ini umumnya dilihat orang analitis macam Zeno sebagai sederetan posisi. Orang umumnya menyukai demikian, sebab itu lebih mudah ditangkap ketimbang gerak sebagai gerak.

Tapi bagi Bergson, mandek itu ilusi. Kita hidup di antara benda dan manusia seperti ketika kita, seraya duduk di gerbong kereta api A, melihat ke gerbong kereta api B yang melaju sejajar, berbareng, dan dengan kecepatan yang sama, ke arah yang sama. Kita akan melihat B tak bergerak. Kita melihatnya tak berubah.

Gerak dan perubahan justru sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, meskipun manusia sering tak melihatnya. "Melihat" adalah kata yang tepat di sini: kita hidup dengan indra visual sebagai sarana terpenting menangkap kenyataan-satu hal yang di zaman ini kian dominan: huruf, meme, Instagram. Tapi indra visual punya kebiasaan memisah-misah; kita hanya bisa melihat sebatang jarum, seraut wajah, sebuah panorama, tak pernah sekaligus, selalu dari satu sisi ke satu sisi lain. Dalam proses itu, perubahan diasumsikan tak ada; gerak seakan-akan dibekukan.

Tapi untung. Ada yang bisa membuka kepekaan kita kepada gerak dan perubahan: kuping kita. "Mari kita dengarkan sebuah melodi," tulis Bergson, "dan kita biarkan diri kita dibuainya: bukankah kita akan dapat mencerap dengan jelas sebuah gerak yang tak terikat kepada sebuah benda yang bergerak, sebuah perubahan tanpa ada yang berubah? Perubahan itu sendiri cukup, perubahan itulah segalanya. Meskipun melodi itu berlangsung dalam waktu, ia tak bisa diurai, dibagi-bagi...."

Hmmm-mungkin kita butuh melodi. Kita tengah mengalami erosi kepekaan kepada gerak dan perubahan, kepada proses, apalagi kepada ritme. Kita dikerumuni kemandekan. Kita mencandu inersia-karena yang mandek itu mudah dimanfaatkan. Bunyi diulang-ulang, gerak diubah jadi repetisi, kata jadi klise, imbauan moral jadi hukum yang ajek. Kita tahu hidup bergerak. Tapi kita lebih gemar melihatnya seperti Kura-kura Zeno yang tenang dan pasti. Dalam posisi mandek.

Goenawan Mohamad
13 Agustus 2018
Sumber : Caping Tempo

Herakleitos

"Selama-lamanya itu berapa lama?" tanya Alice. 

Jawab Kelinci Putih: "Kadang-kadang cuma satu detik."

- Lewis Carroll, Alice di Negeri Ajaib

Waktu sebenarnya tak semakin cepat bergerak, tapi semakin cepat menelan banyak hal dan memuntahkan banyak hal. Benda dan perkara yang kemarin masih penting hari ini nyaris terlupakan. Alat, kata, gaya hidup, dan problem baru datang susul-menyusul.

Kita kian lupa telepon di meja rumah kita-kita hampir tak menggunakannya. Kita segera akan menutup kantor kita-kita bisa bekerja di rumah dan mengadakan rapat di tempat yang tak menetap. Kita mungkin tak akan perlu membangun universitas dan perpustakaan-para mahasiswa bisa kuliah dengan Skype atau teknologi serupa dari lokasi yang jauh. Buku, kamus, ensiklopedia, atlas pelan-pelan jadi barang yang tak ditengok lagi. Toko buku, toko baju, restoran Padang atau Manado bisa digantikan dengan pelayanan digital. Beberapa profesi terancam punah. Beberapa keterampilan di bidang medis, hukum, dan arsitektur bisa dikerjakan satu atau sederet mesin "kecerdasan buatan".

Tanpa membaca Future Shock Alvin Toffler yang terbit di tahun 1970, kita kini langsung mengalami tiap saat didorong masuk ke sebuah masa depan-yang sebenarnya masa sejenak yang dihuni hal-hal baru yang sebelumnya tak pernah kita temui. Kita merasa cepat tua dan ditinggalkan; kita bingung. Jangan-jangan bahkan kebingungan segera akan jadi milik masa lalu. Kita akan pasrah bersama kegagapan kita.


Future Shock telah memulainya, dan kini thema cerita tentang manusia yang dikebut perubahan telah jadi klisé. Dan orang pun mulai berpikir, bagaimana menyiapkan diri dan anak cucu kita, di tengah gelombang Herakleitos ini, ke masa depan.

Tapi masa depan yang seperti apa? "Semua hal bergerak dan tak ada yang tetap," kata Herakleitos sebagaimana dikutip Plato dalam Cratylus. Jika demikian halnya, gambaran kita tentang sebuah masa depan yang harus kita hadapi tak akan bisa jelas. Gambaran itu juga diguyahkan arus perubahan yang mengalir deras, bergejolak, bak sungai dari jeram gunung.

Di tahun 1848, Manifesto Komunis menggambarkan perubahan yang digerakkan kaum pemodal dalam dunia modern; Marx dan Engels menggunakan kiasan yang dramatis: "Segala hal yang padat-pejal meleleh jadi udara." Menyambung Marx dan Engels, Yuval Noah Harari menulis dalam Wired yang akan beredar September/Oktober 2018 bahwa bukan cuma struktur sosial ekonomi yang akan berubah. Kelak juga struktur kognitif kita akan meleleh, terburai ke dalam "gumpalan awan satuan data", a cloud of data bits.

"Tak seorang pun benar-benar dapat memprediksikan apa saja perubahan yang akan kita saksikan," tulis Harari. Seperti dalam Sapiens dan Homo Deus, Harari efektif dalam menyusun kata-katanya: "Jika seseorang menggambarkan kepada kita dunia di tengah abad ke-21 dan gambaran itu mirip sebuah fiksi ilmu, itu mungkin sekali palsu. Tapi juga jika seseorang menggambarkan dunia di tengah abad ke-21 dan tidak mirip sebuah fiksi ilmu, itu pasti palsu."

Memang mirip sebuah fiksi jika kini manusia jadi data yang diotak-atik, bukan subyek sebuah biografi. "Kita hidup dalam era ketika manusia diretas," tulis Harari. Algoritma memantau kita-dan membentuk kita.

"Kita diawasi ke mana kita pergi, apa yang kita beli, siapa yang kita temui. Semua langkah kita, semua napas kita, semua detak jantung kita dimonitor.... Dan ketika algoritma-algoritma itu mengetahui diri kita lebih baik ketimbang kita sendiri, mereka akan dapat mengendalikan dan memainkan kita, dan tak banyak yang bisa kita lakukan menghadapi itu."

Tapi tidakkah Harari terlampau waswas?

Ia menyebut banyak pakar pendidikan menganjurkan agar generasi muda tak lagi mengajarkan keterampilan yang sudah ditentukan sebelumnya-memecahkan soal matematika, mengidentifikasi bahan kimia dan persenyawaannya, atau menguasai bahasa asing. Sebab kelak mesin dengan "kecerdasan buatan" akan lebih sanggup mengerjakan itu. "Sebuah aplikasi penerjemahan Google akan membuat kita mampu bercakap dengan fasih dalam bahasa Mandarin, Kanton, atau Hakka, meskipun sebenarnya kita hanya tahu berkata ‘Ni hao’."

Maka para pendidik menganjurkan agar sekolah-sekolah mengajarkan "Empat K"-pemikiran kritis, komunikasi, kerja sama, dan kreativitas. Generasi kini dan yang akan datang perlu kemampuan menemukan dan membentuk diri berkali-kali.

Tapi bagaimana dengan nilai-nilai, yang umumnya tumbuh dari sejarah masa lalu dan jadi khazanah budaya? Bagaimana dengan agama dan hukum-hukumnya? "Empat K" yang menjawab perubahan memang akan bisa mengguyahkan semua itu, sebagian atau semuanya.

Yang akan jadi problem bukanlah rontoknya ajaran nilai-nilai dan hukum agama-yang apa boleh buat akan gampang lapuk di tengah perubahan cepat ini. Yang akan jadi problem adalah sifat universal dari hal-hal yang selama ini merawat kemanusiaan. Jika yang universal dianggap tak berdasar, karena tak ada ruang dan waktu yang menetap, karena yang "selama-lamanya" sama dengan "satu detik", bagaimana sesama manusia akan bisa berbagi apa yang dirasakan adil, benar, indah?

Mungkin manusia akan makin perlu membentuk percakapan yang bebas untuk lepas dari kesalahpahaman yang tak henti-henti. Kita memang tak bisa mengatakan, dengan meminjam frasa sajak Amir Hamzah, "lalu waktu, bukan giliranku". Tapi kita akan bahagia jika kita tetap bisa menikmati puisi, dongeng, mengapresiasi kearifan, yang datang dari pelbagai waktu, yang bisa disegarkan lagi.

Sebab kita tak akan bisa, dalam guncangan perubahan, berpegang pada doktrin. Doktrin, apalagi dogma-yang membeku dan tak kita sadari betapa mandeknya-adalah lingkaran setan kebingungan kita.

Oleh :

Goenawan Mohamad
20 Agustus 2018
Sumber : Caping Tempo

Sunday 11 March 2018

Adonis

Malam itu Adonis duduk di Acropole, restoran Yunani di Rue de l’École-de-Médecine, Paris. Sastrawan yang diunggulkan jadi penerima Hadiah Nobel ini, yang menggugah sastra Arab sejak 70 tahun yang lalu, menyambut tamunya dengan sebotol anggur organik. Sikapnya tak berjarak, dan ia bisa kocak. Bersamanya kita akan lupa ia pak tua 88 tahun yang telah menempuh sejarah Timur Tengah yang ganas-bersama puisi yang terpaut tegang dengan zamannya.
Ini pertemuan kami kedua, setelah hampir sedasawarsa. Ia hadiahkan bukunya, Concerto al-Quds, yang versi Arabnya terbit pada 2012. "Ini buku saya yang paling akhir," katanya.
Ia kini melukis. Ia tunjukkan reproduksi karyanya: warna dan garis pada "serpihan kertas yang dibuang" yang ditebari tetesan cat yang mirip bentuk-bentuk tes Rorschach. Merah, hitam, hijau menyembul di antara kalimat-kalimat Arab yang ditulis dengan pena, larik-larik monokromatik yang halus. "Saya dapatkan cara lain mengutarakan hubungan dengan benda-benda."
Ia bilang ia mulai menggambar karena sukar menulis sajak lagi. Tapi puisinya belum kering. Di dataran kertas itu tampak karya visualnya yang minimalis: puluhan kaligrafi yang liris.
Agaknya tiap kali Adonis lahir kembali. Sebaris sajak dalam Concerto: "Uban ramai di kepalaku, tapi isi badanku fajar anak-anak." Tatapannya seperti melihat dunia buat pertama kali: riang, ingin tahu, pandangan bocah yang cerdas, ceria, jail, di umurnya yang hampir seabad.
Hidup belum berhenti. Hidup tak berhenti.
"Berhenti" mungkin lawan kata "Adonis". Saya kira ia pandang dirinya sebagai Mihyar yang diciptakannya dalam Aghani Mihyar al-Dimasyqi, buku bertahun 1961. Mihyar seorang eksil yang mengarungi dataran yang hangus, remuk, tapi muncul, dari puing-puing, membawa "iklim kata-kata baru".
Ia tawarkan sajaknya mentah, tapi menyihir, ke angin yang
berkabung
Ia bahasa yang berpendar di antara tonggak
Ia ksatria kata-kata yang tak lazim
Bahasa, dalam diri Mihyar, penyair, adalah peristiwa metamorfosis. Kata, alat komunikasi, berubah jadi sesuatu yang ganjil, lincah, tak bisa dipatok, sering tak dimengerti. Bahasa, yang dalam kearifan Melayu dianggap "menunjukkan bangsa", berubah jadi suara, nada, ritme, dan makna yang tak punya bangsa, tak punya puak. Mihyar, seperti Adonis, selalu seorang imigran. "Menulis tak punya identitas," ia tulis dalam Concerto.
Ada penyair Irak yang menyesali corak puisi yang dibawa Adonis karena "bersemangat Eropa". Saya kira Adonis tak peduli. Nama pena yang ia pilih sejak 1940-an (nama asalnya Ali Ahmad Said Esber) diambil dari mithologi Yunani-Phoenisia. Dalam dongeng Yunani, Adonis bukan Yunani, melainkan Assiria: dewa kematian dan kebangkitan kembali.
Nama, hidup, dan puisi penyair ini sepenuhnya perubahan. Ia lahir pada 1930 di timur laut Suriah. Di waktu muda ia ikut kaum nasionalis dan terlibat persaingan politik dengan Partai Baath yang kemudian berkuasa. Ia dipenjarakan selama setahun. Pada 1956 ia lari ke Beirut, ibu kota Libanon, yang praktis jadi tempat awalnya lagi.
Di kota itu cendekiawan dunia Arab bertemu: yang Islam, Kristen, atheis, dan lain-lain. Di sana Adonis mendirikan majalah Shi’ir yang terkadang memuat terjemahan sajak-sajak T.S. Eliot dan Saint-John Perse, bukan lagi puisi yang berpetuah tentang jati diri.
Tapi Adonis tak cuma "Barat". Ia menggali karya sastra Arab sejak abad ke-6, yang ia terbitkan dalam tiga jilid bunga rampai. Ia tunjukkan warisan kebudayaan yang beraneka ragam: karya zaman Abbasiyah, tulisan para sufi, pemikir Syiah, filosof Andalusia. "Tradisi Arab" tak hanya satu.
"Satu", bagi Adonis, meringkus, meringkas, menakutkan. "Malang sekali," katanya suatu ketika, "dalam tradisi kami, tiap perkara didasarkan pada ke-satu-an-Tuhan satu, politik satu, rakyat satu. Dengan mentalitas seperti itu, kami tak bisa mencapai demokrasi, sebab demokrasi dimulai dengan memahami bahwa yang lain berbeda."
Ia saksikan Beirut hancur ketika menghendaki "satu", ketika "yang lain" dianggap tak sah, ketika Islam, Kristen, Druze saling menyingkirkan. "Pembunuhan telah mengubah bentuk kota-batu ini butir kepala seorang anak," tulisnya dalam sajak "Kitab Pengepungan" (1985).
Dengan suram pula ia lihat Yerusalem. Kota yang dalam bahasa Arab disebut "Al-Quds" itu kota suci monotheisme, tapi akhirnya ia medan konflik berabad-abad. Di ruangnya yang tua tiga agama-masing-masing bertuhan tunggal-saling ingin menghabisi. "Al-Quds, adakah dosa yang lebih besar, lebih angkuh, lebih membunuh ketimbang dirimu?"-satu baris dalam Concerto.
Dosa yang "angkuh" dan "membunuh" itu bermula ketika "malaikat-malaikat kepastian" lepas dari "tubuh planet" dan "mereka datang kepadamu, Al-Quds".
Langit mereka robek dari langit, dan utas tali mereka
mencekik bumi.
Ada kolonialisme dogma tunggal, yang mencekik, dan angkasa Yerusalem jadi "kerangkeng".
"Islamisme itu kolonialisme," kata Adonis di kedai Acropole. Dari dalam puisi ia melawan-muncul dari puing dan membawa "iklim kata-kata baru".
Goenawan Mohamad

Saturday 24 February 2018

Negeri Praktik

PADA pengujung Mei 2016, empat anak kelas IV SD di Lamongan, Jawa Timur, nekat membakar seluruh rapor siswa kelasnya yang belum dibagikan gurunya. Mereka membakarnya di ruang kelas.
Alasannya, mereka kesal karena nilai-nilai yang tercantum di rapornya (mungkin) bakal jelek. Karena penasaran, saya googling untuk mencari informasi soal ini.
Rupanya itu bukan satu-satunya kasus. Di Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, ada tiga pelajar SMP yang membakar sekolahnya karena kesal dihukum gurunya. Tiga siswa tersebut kedapatan merokok.
Sang guru pun menghukum dengan tidak memperbolehkan mereka mengikuti pelajaran di kelas. Kesal oleh hukuman tersebut, sekitar pukul 3 dini hari, tiga siswa kelas IX itu membakar ruang guru.
Masih terkait dengan pembakaran sekolah, seorang siswa kelas V SD di Sukoharjo, Jawa Tengah, membakar kain gorden di ruang kelasnya. Api dengan segera membakar lemari dan buku-buku di dalam kelas tersebut.
Apa alasannya? Dia marah karena sering menjadi bahan olok-olok temannya.
Masih penasaran, saya lalu memperluas pencarian. Saya jadi ingin tahu kasus-kasus kriminalitas apa lagi yang melibatkan anak-anak.
Kali ini giliran saya yang mengurut dada dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pencarian. Hasil sementara yang saya dapatkan, ada cukup banyak kasus kriminalitas yang melibatkan anak-anak.
Pencurian, perampokan, hingga pemerkosaan dan bahkan pembunuhan. Semuanya, masya Allah, mengerikan.
Di Jakarta, tiga anak usia belasan tahun tega membunuh temannya, yang juga belasan tahun, dengan cara menggorok lehernya. Alasannya sederhana, karena korban kerap memaki-maki tiga temannya tersebut.
Baiklah, saya langsung masuk ke potret besarnya. Menurut data Komnas Perlindungan Anak (PA), pada 2013 saja ada 5.000-an anak yang mendekam di penjara karena berbagai kasus.
Sebagian sudah divonis bersalah. Saya jadi gelisah. Ada apa dengan anak-anak kita?
Si Kancil Anak Nakal
Saya percaya semua kasus tadi pasti tidak berdiri sendiri atau hanya disebabkan faktor tunggal. Pasti ada beberapa penyebab.
Misalnya, Kak Seto Mulyadi, yang ketika itu masih menjabat ketua Komnas PA, menilai di situ ada peran orang tua. Masih banyak orang tua di Indonesia yang tidak tahu bagaimana cara mendidik anak-anaknya (dan setahu saya belum ada sekolah untuk menjadi orang tua).
Maka, yang kita temukan, kalau melakukan kesalahan, si anak langsung dihukum. Bahkan dengan hukuman yang bersifat fisik.
Dijewer, ditampar, atau bahkan dipukul. Kalau di Jepang, bahkan ada yang ditinggal di hutan oleh orang tuanya.
Saya setuju bahwa cara-cara semacam itu sama sekali tidak mendidik. Hanya, sebagai orang yang bergerak dalam bidang pendidikan, sekaligus pemerhati masalah-masalah perubahan, perkenankan saya melihatnya dari sudut pandang lain.
Saya akan memulai dari lagu anak-anak terlebih dahulu. Pernah dengar lagu Si Kancil? Anda pasti hafal syairnya.
Begini salah satu petikannya. ”Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun. Ayo lekas dikurung, jangan diberi ampun…
Salahkah kalau anak-anak kita menafsirkan, barang siapa berbuat salah, segera dihukum? Jangan kasih ampun! Di mana ajaran belas kasihnya?
Jumlah lagu anak-anak di negeri kita sangat terbatas. Maka, tak heran kalau anak-anak kita pun menyanyikan lagu-lagu untuk orang dewasa.
Syair-syairnya malah lebih mengerikan. Mau tahu? Untuk soal ini, rasanya Anda lebih tahu ketimbang saya.
Sekolah Hidup
Di kota-kota besar, banyak orang tua yang berpikir, kalau anaknya pintar dan masuk ranking, urusan masa depannya beres. Celakanya, pintar di sekolah itu tidak sama dengan pintar dalam kehidupan.
Kalau Anda dulu sekolahnya pintar, lalu cari nafkah, bangun rumah tangga dan pergaulannya juga pintar, itulah anugerah. Tapi celakanya, jarang sekali kita temui orang yang sekolahnya pintar, hidupnya juga pintar.
Jadi, akhirnya harus saya katakan, istilah pintar itu hanya ada di sekolah. Namun, apalah artinya sekolah pintar kalau kehidupannya tak pintar?
Artinya tidak pandai menerjemahkan apa dalam kehidupan. Artinya lagi, kita belum bisa menyerahkan anak-anak kita kepada sekolahnya saja.
Tapi, nanti dulu, bukankah waktu anak-anak lebih banyak bersama keluarganya di rumah? Artinya, kita orang tua juga belum menerapkan cara mendidik anak yang benar.
Jangan-jangan cara mendidik yang baik itu bukan memberi mereka les yang banyak agar nilai sekolahnya bagus, diterima di sekolah unggulan, masuk fakultas top, ranking, beasiswa, dan seterusnya.
Jangan-jangan anak kita kurang diajak bicara, diajak bermain, berlibur, berkegiatan sosial, dan seterusnya. Jangan-jangan waktu berlibur itu kitalah yang asyik berlibur, bukan mereka.
Banyak orang tua yang terkecoh dengan judul-judul mata pelajaran. Faktanya, sekolah kita masih belum banyak mendidik, baru memindahkan isi buku ke dalam kertas.
Masih kurang melatih otot dan tindakan. Contohnya adalah mata pelajaran budi pekerti yang mulai diajarkan kembali.
Jadi, selama beberapa jam dalam sehari, beberapa hari dalam seminggu, dan beberapa minggu dalam sebulan, serta beberapa bulan dalam setahun, anak-anak kita belajar dan menghafal pelajaran soal budi pekerti agar memperoleh nilai ulangan atau ujian yang baik. Bukan agar mereka benar-benar memiliki perilaku yang baik.
Buat saya, ini ”pemborosan waktu” yang luar biasa! Kita menanam, tetapi tidak menuai hasilnya.
Maka, tak heran kalau kita pada jauh hari kemudian memanen dampaknya. Setidak-tidaknya itu bisa kita lihat saja pada kasus-kasus kriminalitas yang melibatkan mereka, sebagaimana saya paparkan tadi.
Dulu, semasa kecil, saya diajari untuk menaruh hormat kepada guru. Bahkan, naik sepeda pun berhenti dan turun menyapa pak guru yang ada di depan kita.
Coba lihatlah apa yang terjadi sekarang? Jangankan berhenti, mereka malah menyerobot jalan. Jadi salah siapa? Yang mendidik atau yang dididik?
Kita juga memandang sekolah sebagai lembaga yang berwibawa. Di sana tempat kita belajar. Maka, ketika ada siswa –SD dan SMP pula– yang berani membakar sekolahnya, ini sungguh membuat saya terkejut sekaligus gelisah.
Rasanya sudah waktunya kita mengubah orientasi pendidikan anak-anak kita dari sekadar tahu menjadi menjalankan. Bukan hanya untuk pendidikan budi pekerti, tetapi juga untuk mata pelajaran lainnya. Ini bukan negeri teoretis, ini negeri praktik. (*)
(@Rhenald_Kasali)

Gallery Mindset Daffa

Kisah bocah berusia 9 tahun yang mendadak jadi terkenal dari Semarang mungkin sudah kita baca. Kamera netizen yang dibidik dari sebuah mobil di jalan raya menangkap momen itu. 
Daffa dengan keukeuh menyetop sepeda motor yang dikendarai orang dewasa di atas trotoar dengan sepeda kanak-kanaknya.
Ini bukan soal cerita itu. Tetapi, menarik diikuti cerita wartawan yang kemudian datang ke rumahnya untuk melakukan wawancara (Detik, 19 April 2016). 
Media online tersebut menulis: Mengetahui wartawan datang, Senin 18/4, Daffa sumringah dan mau diwawancara. Saking antusiasnya, ia bahkan berlari masuk rumah dan keluar lagi memakai kaos bermotif garis-garis seperti pada foto yang tersebar. ’’Saya pakai ini waktu itu,’’ katanya.
Sulit saya bayangkan pada masa kecil saya dulu, anak usia 9 tahun sudah sadar kamera seperti Daffa. Pakaian yang menandakan dirinya seakan menjadi brand identity yang penting bagi personal Daffa. Itu mengalir otentik, tidak dibuat-buat seperti para selebriti.
Camera Branding
Minggu lalu di Mal Gandaria City, Jakarta, malam Minggu, ribuan orang datang untuk berfoto-foto. Ini agak aneh juga bagi generasi saya.
Kali ini mereka ingin berfoto bersama polisi. Ya, polisi Republik Indonesia. Bukan dengan polantas yang belakangan sering menampilkan gadis-gadis cantik seperti Briptu Dara atau Briptu Olivia.
Juga bukan polteng (polisi ganteng) Bripda Saeful Bachri yang sudah ramai di media sosial atau Briptu Norman Kamaru yang pernah mendadak terkenal karena menyanyikan lagu India.
Kali ini polisi yang ingin mereka temui adalah reserse atau dari unit reskrim. Pangkatnya senior pula, kombes. Ini sehubungan dengan pameran kepolisian. Yang menjadi bintang memang reskrim dan tokohnya adalah KM (Krishna Murti).
Sebelumnya, saya perlu menjelaskan kepada Anda bahwa mengurus reserse itu amat rumit. Maklum, pekerjaannya berurusan dengan kriminalitas dan banyak liku-liku rahasia. Bukan rahasia lagi, banyak pula polisi nakal.
Sementara unit lantas lebih dulu memperbaiki layanannya. Tentang hal itu, Kapolri Bambang Hendarso semasa menjabat dulu amat sering berpesan kepada saya bagaimana kita memperbaiki citra unit reskrim. Ini benar-benar rumit.
Kita kembali ke KM yang belakangan sering muncul di televisi menyusul kasus-kasus besar yang ditanganinya, mulai racun sianida di cangkir kopi yang mematikan Mirna, pertarungan melawan preman di Kalijodo, bom Thamrin, sampai peristiwa mutilasi seorang perempuan hamil.
KM adalah peserta Sespimti (Sekolah Pimpinan Tertinggi) Polri 2014. Dia menjadi ketua kelasnya saat saya mengajar di sana tahun itu. Dia menelepon saya dan minta diulas dalam sebuah talk show di mal itu. 
’’Saya murid Prof, waktu kami diajar transformasi, change, dan camera branding,’’ ujarnya.
Saya agak tertegun mendengar ceritanya karena dia mengaku melahap habis buku Camera Branding yang saya tulis dua tahun lalu. Dan apa yang dia terapkan dewasa ini adalah penerapan dari bacaan-bacaan wajibnya selama sekolah, termasuk buku itu.
Tetapi, ilmu tersebut menjadi hidup di tangan KM karena dia pernah menjadi kepala polisi di markas PBB di New York.
Di sana itulah KM menyaksikan contoh-contoh yang sering saya ulas. Dia berpikir, polisi akan sulit dihormati di sini kalau pakaian seragamnya mengesankan amat berjarak dengan masyarakat. Apalagi penampilannya menyeramkan.
’’Maka sekembalinya saya ke reskrim, saya dandani anak-anak buah saya. Pakai kaus biru tua bertulisan Turn Back Crime. Celananya cokelat khaki. Polisi harus keren. Sepatunya kets putih krem,’’ ujarnya.
Saya tahu KM tidak ingin nampang. Tetapi, dia tahu persis bahwa generasinya berada di tengah-tengah peradaban kamera. Masyarakatnya juga tambah pintar.
Lihat saja bagaimana anak-anak muda bergaya di depan kamera. Apakah itu di ujung batu puncak gunung (yang berakibat Anda jatuh ke mulut kawah), naik sepeda motor di dasar laut, atau ketemu sosok yang spesial di jalan. Bahkan, makanan atau menu buka puasa saja dipotret dulu, baru doa dibaca.
Pokoknya foto, edit, upload! Rasanya sudah keren. Lalu, kini peradaban video pun berkembang. Mulai Instagram, Snapchat, sampai Boomerang. Sudah begitu, mereka amat kritis. Akses pada pengetahuan dan kebenaran terbuka luas. Maka dia pun berujar, ’’Pengungkapan sebuah kasus harus pakai science.’’
Hal itu tampak ketika reskrim Polda Metro mengungkap pembunuh Mirna. Mungkin KM masih ingat pesan saya, masyarakat sudah belajar dari serial film di Fox Channel, CSI (Crime Scene Investigation) atau Criminal Minds. Keduanya sarat metode ilmiah. Labnya pun amat canggih. 
Dunia Komersial pun Berubah
Hal itu mengakibatkan cara pandang manusia benar-benar berubah. Cara manusia Indonesia mengevaluasi lembaga pemerintah dan merek-merek komersial juga berubah. Cara mengomersialkan produk melalui orang juga berubah.
Di dalam buku Camera Branding, saya menjelaskan karakter dasar yang perlu dibangun: authentics, gallery mindset, intangibles, flavor, connected and meaningful.
Manusia menjadi merasa ’’dekat’’ hanya kalau mereka bisa mengapresiasi sesuatu, dan sesuatu itu berhubungan dengan benda hidup, yang dapat mereka akses, foto-foto dengan mereka, dan tentu saja harus authentics.
Jadi, bukan yang terkesan semu, paksa, asal tampil, atau dapat menimbulkan kesadaran komersial. Tetapi, yang terpenting, selain authentics, para eksekutif perlu lebih dulu memiliki kesadaran gallery mindset. 
Anda tengah berada di era disruption. Bahkan strategi Anda harus didasarkan pada ide-ide itu kalau tak mau ditinggalkan pasar. Ingat, perubahan abad ini menyandang 3S: speed, surprise, dan shifting. 
Jadi, Daffa, KM, atau bahkan Justin Bieber, Briptu Dara, malahan juga Joko Widodo, Ahok, Haji Lulung, Ruhut Sitompul, Risma, Kang Emil, Kang Yoto, dan tokoh-tokoh publik lainnya sudah ada di sana. 
Demikian juga Bukalapak.com, KitaBisa.com, Uber, Grab, Go-Jek, Coke, dan Raja Ampat. Semua bergaya meng-expose Camera Branding secara authentic. Selamat bereksplorasi!

CEPAT

Anda pernah mendengar gurauan semacam ini. Seorang kakek bepergian dengan kereta api. Ketika membeli tiket, ia bersikeras kepada petugas loket agar bisa duduk di gerbong paling depan.
Sang petugas loket dengan ramah menjelaskan bahwa gerbong depan sudah penuh. Hanya gerbong bagian belakang yang masih kosong. Tapi, sang kakek bersikukuh.
Dengan bersusah payah, petugas loket menjelaskan lagi kepada sang kakek soal gerbong depan yang sudah penuh. Sang kakek, seakan tak mau mengerti, tetap ngotot.
Merasa penasaran, akhirnya petugas loket bertanya kepada sang kakek, “Mengapa kakek begitu ingin duduk di depan?”
Anda tahu jawaban sang kakek? Begini, “Supaya saya lebih cepat sampai.” Sang petugas loket tertegun.
Ciptakan Bisnis Baru
Cerita tadi memang hanya gurauan, tetapi substansinya sulit terbantahkan. Potret kakek tadi adalah potret kita semua, yakni masyarakat yang begitu terobsesi akan kecepatan.
Dalam setiap kesempatan saya selalu menyinggung soal perubahan yang tengah berlangsung di depan mata kita. Cirinya ada tiga atau disebut 3S, yakni surprise, speed dan sudden shift.
Perubahan yang tengah kita alami dewasa ini stadiumnya sudah stadium 3, terjadi secara mengejutkan, cepat dan serba mendadak.
Kali ini saya akan menyinggung salah satunya: speed. Serba cepat adalah ciri dari masyarakat modern. Kata Aldous Huxley, filsuf dan novelis asal Inggris, “Speed provides the one genuinely modern pleasure.”
Tentu saya tak bermaksud mengabaikan kebaikan sehingga harus cepat-cepat. Tetapi teknologi dan kerapihan dalam klasifikasi telah membuat bangsa-bangsa lain lebih gesit daripada kita. Ini juga telah mengubah perangai banyak orang di sini. Akui sajalah!
Cobalah Anda pesan makan siang di suatu restoran. Kalau sang pelayan restoran bilang bahwa menu pesanan Anda baru siap sekitar satu jam lagi, Anda tentu akan angkat kaki dan cari restoran lain.
Bagaimana mungkin kita menunggu satu jam untuk makanan yang mungkin akan kita santap hanya dalam waktu 15 menit?
Di industri makanan, obsesi akan kecepatan melahirkan bisnis makanan cepat saji. Sekarang ini di mana-mana kita bisa dengan mudah menemukan restoran cepat saji.
Di bisnis transportasi, obsesi akan kecepatan melahirkan bisnis-bisnis baru, penanda status suatu negara, dan menciptakan persaingan di antara sesama moda trasportasi.
Misalnya dalam bisnis transportasi udara, obsesi akan kecepatan melahirkan pesawat Concorde. Pesawat yang dioperasikan British Airways dan Air France ini mampu terbang dengan kecepatan 2.200 kilometer per jam. Dengan kecepatan tersebut, jarak Paris–New York mampu ditempuh hanya dalam waktu 2,5 jam.
Bandingkan dengan pesawat komersial lainnya, semisal Airbus 380, yang hanya mampu terbang dengan kecepatan 1.000 kilometer per jam. Sayang, mahalnya biaya operasional membuat Concorde berhenti beroperasi sejak tahun 2003.
Di darat, obsesi akan kecepatan melahirkan bisnis Grand Prix, ajang ajang adu cepat mobil (Formula 1) dan sepeda motor (MotoGP). Nilai bisnisnya mencapai triliunan rupiah.
Masih di darat, suatu negara baru boleh menyebut dirinya negara maju kalau sudah memiliki kereta cepat. Kalau belum, lupakan saja.
Lihat daftar negara-negara yang sudah memiliki kereta cepat: China, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Prancis, Spanyol, dan Taiwan. Semuanya negara maju, bukan. Negeri tetangga (Malaysia dan Singapore) juga sedang dalam proses.
Di mana Amerika Serikat (AS)? Negeri Paman Sam itu memang tertinggal. Tapi, mereka kini siap membangun kereta cepat Las Vegas – Los Angeles.
Proyek ini bakal dikerjakan bersama antara konsorsium perusahaan kereta China (China Railway Group, CRRC, China State Construction Engineering Corporation, dan China Railway Signal & Communication Corporation) dengan pihak swasta di AS.
Di China, hadirnya kereta cepat supercepat Jinghu High-Speed Railway yang menghubungkan Beijing-Shanghai (1.400 kilometer) menciptakan persaingan baru.
Maskapai penerbangan jalur Beijing-Shanghai merana, sebab sebagian penumpangnya beralih ke kereta cepat. Akhirnya untuk menjaring kembali para penumpangnya, maskapai-maskapai itu memberikan diskon harga tiketnya hingga 65%.
Siapa yang untung? Konsumen!
 
Di Luar Kendali
Begitulah obsesi akan kecepatan mengubah banyak hal. Bukan saja bisnis, tetapi juga perilaku kita. Sekarang ini kita mudah sekali jengkel kalau akses internet begitu lambat.
Kita langsung uring-uringan kalau proses loading laptop atau gadget terbaru kita begitu lama—meski sejatinya hanya puluhan detik.
Obsesi akan kecepatan membuat kita berubah menjadi orang yang ingin selalu lebih cepat tahu. Ketika terjadi bom Sarinah, kita ingin menjadi orang yang pertama tahu, dan sekaligus yang pertama menyebarkannya ke media sosial.
Maka, kita jengkel setengah mati ketika informasi yang kita upload tak segera terkirim. Kita lupa bahwa pada saat itu ribuan orang juga tengah melakukan hal serupa.
Obsesi akan kecepatan membuat kita selalu ingin tahu, sampai melupakan  batas-batas negara. Kita jadi kepo.
Kita ingin menjadi yang pertama tahu saat itu juga. Maka, muncullah media-media online yang kehadirannya menumbangkan bisnis media cetak konvensional, surat kabar atau majalah.
Ingin lebih cepat adalah insting primitif setiap manusia. Inilah yang disasar para produsen. Maka, mereka menghadirkan barang dan jasa yang lebih cepat.
Ponsel, sepeda motor atau mobil, jasa ojek, jasa kurir, layanan pesan antar makanan, transportasi, media, layanan internet service provider, dan masih banyak lagi, semuanya kini menjadi lebih cepat.
Kata pebalap Mario Andretti, “If everything seems under control, you're not going fast enough.” Seringkali kalau sesuatu berlangsung begitu cepat dan terasa di luar kendali, kita menjadi kebingungan sendiri. Itulah harga yang harus kita bayar. Anda siap? (@Rhenald_Kasali)
Artikel Ini Diambil Dari Jawapost

Islam di Mata Orang Asing

Jakarta - Ayat-ayat An-Naba' terlantun di koridor-koridor Masjid Istiqlal ketika Prof. Yuki Megumi-San bertanya kepada saya sambil menunjuk potret di ponselnya, "Kalis, apakah mereka menganut Islam yang berbeda?"

Prof. Yuki baru saja meminta berfoto bersama dua perempuan remaja dengan gaya kerudung berbeda. Seorang bercadar, seorang dengan kain kerudung menutup dada.

"Islamnya sama. Tetapi pemahaman mereka tentang Islam yang berbeda. Dan yang paling penting, dua-duanya sama-sama sedang mendefinisikan diri dan kesopanan lewat pakaian. Seorang merasa telah cukup sopan dengan bentuk tertentu, tapi seorang lainnya merasa belum cukup sopan. Perbedaan yang wajar."

"Apakah seorang yang bercadar kelak menikah lewat perjodohan?"

"Mungkin beberapa, tapi tidak semua. Tetapi sebagian besar mereka memang menikah setelah sekali atau dua kali saling mengadakan pertemuan dengan keluarga."

Prof Yuki bertanya cukup banyak yang lalu memaksa saya menerangkan bahwa Islam punya perangkat fikih yang lengkap dalam mengatur tanggung jawab pernikahan bahkan perceraian. 

Satu pekan ini, saya sedang menemani kawan-kawan dari Jepang, India, Filipina, Thailand, dan Peru dalam program EYES For Embracing Diversity yang diadakan oleh Japan Foundation. Mereka semua non-muslim, dan berkunjung ke Indonesia untuk berkenalan dengan Islam. Satu elemen yang memudahkan saya untuk menjadi semacam host dalam program ini adalah sosok Gus Dur. Ketika kami berdiskusi tentang sejarah Indonesia dan Islam yang khas, sosoknya sangat lengkap untuk merepresentasikan bagaimana konteks agama dengan nilai tradisional, kesalehan sosial, pergerakan politik, seni, negara, hingga dunia modern.

Tapi, pertanyaan di luar forum diskusi lebih menjebak, hingga memerlukan segenap kehati-hatian untuk menjawab. Seperti ketika Subhi Dupar, seorang kawan India bertanya tentang pajangan surat Al Fatihah di salah satu lorong masjid terbesar di Asia yang merupakan simbol kemerdekaan Indonesia itu. Ternyata, menjelaskan mengapa Al Fatihah ditempatkan sebagai surat pembuka kitab suci agama yang saya yakini tak cukup mudah. 

Hari itu masjid ramai. Sebagian merupakan jamaah salawat Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir al Musawa yang datang untuk perayaan Maulid. Sebagian lagi, saya dengar adalah peserta aksi 212 tahun lalu yang akan mengadakan reuni esok hari.

Subhi adalah periset yang cerdas. Dua malam sebelumnya, ketika kami menginap di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Gandaria, Jakarta Selatan ia bertanya, mengapa santri mengenakan warna peci berbeda. Sebagian hitam, sebagian putih, ada pula yang memiliki motif. Malam itu para santri sedang mengerjakan ujian shorof. Ini mirip dengan pertanyaan dari Au, kawan Thailand, mengapa ada jilbab bermotif bunga-bunga, sebab di Thailand ia hanya melihat teman muslim mengenakan jilbab berwarna putih.

Orang asing di luar Islam ternyata memahami Islam pertama kali dari simbol. Saya pikir hal yang sama terjadi kepada saya ketika mengamati berbagai patung dewa di Ubud. Beruntung, Kinky, seorang Hindu India baru saja menerangkan pada saya perbedaan antara Hindu dan Buddha.

Saya sekamar dengan Katia Jirata, seorang Katolik Jepang. Sebuah pagi ketika saya baru saja selesai Salat Subuh, ia bertanya cukup banyak soal ibadah wajib umat muslim. Saya terbata menjelaskan salat wajib lima waktu, salat sunah, wudu, juga keringanan untuk tak salat ketika seorang perempuan sedang haid.

"Kupikir kewajiban seorang muslim cukup berat, Kalis," Katia menyimpulkan.

"Ya. Tapi tak semua muslim taat." 

Katia tertawa. Ia mengaku bahwa sudah bertahun-tahun ia jarang ke Gereja. Di Gunma, daerah tempatnya tinggal jarang terdapat gereja karena sebagian masyarakatnya adalah pemeluk Buddha dan beragam kepercayaan lainnya.

Ketika Nami-San, seorang Jepang lainnya bertanya sejak usia berapa tepatnya saya mulai salat, saya pun mengingat sebuah perjalanan beragama yang cukup panjang. Saya bilang pada Nami, sepertinya saya mulai salat sejak usia tiga tahun layaknya anak kecil yang menirukan gerakan salat orang-orang di sekitarnya. Anak kecil belum bisa mengingat bacaan salat. Lebih-lebih, anak kecil pasti tidak memahami makna gerakan salat atau bahkan hakikat mengapa kita harus beribadah, yang salah satunya berbentuk ritual salat.

Berbagai pertanyaan sederhana kawan-kawan baru saya itu mau tak mau menerbangkan kerinduan saya kepada Rasulullah SAW yang diperingati hari kelahirannya hari ini. Sejarah mencatatnya sebagai sosok yang mengubah masyarakat jahiliyah Arab kepada peradaban yang beradab. Menurut banyak tafsir cendekiawan muslim, jahiliyah itu bukanlah kondisi seorang yang buta huruf. Jahiliyah masa Rasul didefinisikan sebagai kondisi masyarakat yang tidak memiliki penghormatan terhadap hak orang lain, perempuan, dan anak-anak. 

Tentu banyak sekali yang telah diubah oleh Muhammad. Jika Walisongo digambarkan sebagai pribadi yang cerdas dalam taktik dan mampu mengakulturasikan berbagai budaya hingga Islam hidup di bumi Nusantara dengan damai, tentu Muhammad berlipat kali lebih ahli taktik dan ahli akulturasi. Jika tidak, bagaimana mungkin Islam progresif dalam perjalanannya kini didefinisikan sebagai keadilan, kesetaraan, dan kemajuan berpikir --unsur-unsur penting yang dapat menjadi penopang masyarakat di belahan bumi mana pun hingga aktual untuk gelar rahmatan lil alamiin?

Jarak manusia hari ini dengan Rasul terlampau jauh, sekira 15 abad. Tetapi saya yakin dan selayaknya memang wajib meyakini bahwa ia adalah seorang utusan yang baik. Banyak riwayat menyebut bahwa ia adalah seorang penyampai kabar (risalah Islam) yang sangat cakap dalam mempergauli orang lain.

Muhammad adalah pribadi yang cerdas, pandai berkomunikasi, jago berdiplomasi, memiliki wajah yang selalu dihiasi senyum, menghormati orang yang lebih dewasa di sekitarnya, menyayangi anak-anak, dan menempatkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki untuk mendapatkan haknya.

Kehidupan jahiliyah Arab ketika itu terdiri dari banyak kabilah yang masing-masing mengunggulkan identitasnya. Penguasa memperbudak banyak sahaya dan menjadikan perempuan layaknya barang pajangan. Tapi, Muhammad yang mulia mengenalkan sebuah tatanan egaliter. 

Mencari wajah Islam, sayapikir sesederhana mencari penerus Muhammad. Terkadang saya membayangkan wajahnya lewat tradisi keturunan Muhammad yang di Indonesia hari ini dikenal sebagai sayyid. Ketika tak cukup, saya pun mencarinya pada sosok ulama yang teduh dan karena wibawanya membuat banyak orang menaruh hormat yang sangat.

Tetapi, satu pekan ini, selain pertanyaan yang cukup sederhana namun punya daya impresi tinggi buat orang asing itu, ada pula pertanyaan yang cukup memusingkan. Brian Tenorio, seorang gay dan pemeluk Katolik dari LGBT Chamber Filipina bertanya bagaimana pandangan Islam tentang hak LGBT. Atau, ketika Prof Yuki bertanya komprehensif mengenai kurikulum pendidikan agama di Indonesia. Atau, ketika Thatwachai bertanya mengapa kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren harus kitab asli berbahasa Arab. Dan, ketika Au bertanya soal apakah fenomena buruh migran perempuan Indonesia yang terepresi oleh tradisi patriarki ada hubungannya dengan agama (Islam) yang mereka peluk.

Saya tak boleh berhenti belajar. Kehidupan antarmanusia sebagai warga dunia dipersatukan lewat ilmu pengetahuan. Perbedaan membutuhkan jembatan, dan jembatan itu sama sekali bukan dalam bentuk peperangan.

Ya Nabi Salam Alayka! Selamat merayakan kelahiran Nabi yang mulia!

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

Artikel Ini Bersumber Dari Detik