Saturday 24 February 2018

Gallery Mindset Daffa

Kisah bocah berusia 9 tahun yang mendadak jadi terkenal dari Semarang mungkin sudah kita baca. Kamera netizen yang dibidik dari sebuah mobil di jalan raya menangkap momen itu. 
Daffa dengan keukeuh menyetop sepeda motor yang dikendarai orang dewasa di atas trotoar dengan sepeda kanak-kanaknya.
Ini bukan soal cerita itu. Tetapi, menarik diikuti cerita wartawan yang kemudian datang ke rumahnya untuk melakukan wawancara (Detik, 19 April 2016). 
Media online tersebut menulis: Mengetahui wartawan datang, Senin 18/4, Daffa sumringah dan mau diwawancara. Saking antusiasnya, ia bahkan berlari masuk rumah dan keluar lagi memakai kaos bermotif garis-garis seperti pada foto yang tersebar. ’’Saya pakai ini waktu itu,’’ katanya.
Sulit saya bayangkan pada masa kecil saya dulu, anak usia 9 tahun sudah sadar kamera seperti Daffa. Pakaian yang menandakan dirinya seakan menjadi brand identity yang penting bagi personal Daffa. Itu mengalir otentik, tidak dibuat-buat seperti para selebriti.
Camera Branding
Minggu lalu di Mal Gandaria City, Jakarta, malam Minggu, ribuan orang datang untuk berfoto-foto. Ini agak aneh juga bagi generasi saya.
Kali ini mereka ingin berfoto bersama polisi. Ya, polisi Republik Indonesia. Bukan dengan polantas yang belakangan sering menampilkan gadis-gadis cantik seperti Briptu Dara atau Briptu Olivia.
Juga bukan polteng (polisi ganteng) Bripda Saeful Bachri yang sudah ramai di media sosial atau Briptu Norman Kamaru yang pernah mendadak terkenal karena menyanyikan lagu India.
Kali ini polisi yang ingin mereka temui adalah reserse atau dari unit reskrim. Pangkatnya senior pula, kombes. Ini sehubungan dengan pameran kepolisian. Yang menjadi bintang memang reskrim dan tokohnya adalah KM (Krishna Murti).
Sebelumnya, saya perlu menjelaskan kepada Anda bahwa mengurus reserse itu amat rumit. Maklum, pekerjaannya berurusan dengan kriminalitas dan banyak liku-liku rahasia. Bukan rahasia lagi, banyak pula polisi nakal.
Sementara unit lantas lebih dulu memperbaiki layanannya. Tentang hal itu, Kapolri Bambang Hendarso semasa menjabat dulu amat sering berpesan kepada saya bagaimana kita memperbaiki citra unit reskrim. Ini benar-benar rumit.
Kita kembali ke KM yang belakangan sering muncul di televisi menyusul kasus-kasus besar yang ditanganinya, mulai racun sianida di cangkir kopi yang mematikan Mirna, pertarungan melawan preman di Kalijodo, bom Thamrin, sampai peristiwa mutilasi seorang perempuan hamil.
KM adalah peserta Sespimti (Sekolah Pimpinan Tertinggi) Polri 2014. Dia menjadi ketua kelasnya saat saya mengajar di sana tahun itu. Dia menelepon saya dan minta diulas dalam sebuah talk show di mal itu. 
’’Saya murid Prof, waktu kami diajar transformasi, change, dan camera branding,’’ ujarnya.
Saya agak tertegun mendengar ceritanya karena dia mengaku melahap habis buku Camera Branding yang saya tulis dua tahun lalu. Dan apa yang dia terapkan dewasa ini adalah penerapan dari bacaan-bacaan wajibnya selama sekolah, termasuk buku itu.
Tetapi, ilmu tersebut menjadi hidup di tangan KM karena dia pernah menjadi kepala polisi di markas PBB di New York.
Di sana itulah KM menyaksikan contoh-contoh yang sering saya ulas. Dia berpikir, polisi akan sulit dihormati di sini kalau pakaian seragamnya mengesankan amat berjarak dengan masyarakat. Apalagi penampilannya menyeramkan.
’’Maka sekembalinya saya ke reskrim, saya dandani anak-anak buah saya. Pakai kaus biru tua bertulisan Turn Back Crime. Celananya cokelat khaki. Polisi harus keren. Sepatunya kets putih krem,’’ ujarnya.
Saya tahu KM tidak ingin nampang. Tetapi, dia tahu persis bahwa generasinya berada di tengah-tengah peradaban kamera. Masyarakatnya juga tambah pintar.
Lihat saja bagaimana anak-anak muda bergaya di depan kamera. Apakah itu di ujung batu puncak gunung (yang berakibat Anda jatuh ke mulut kawah), naik sepeda motor di dasar laut, atau ketemu sosok yang spesial di jalan. Bahkan, makanan atau menu buka puasa saja dipotret dulu, baru doa dibaca.
Pokoknya foto, edit, upload! Rasanya sudah keren. Lalu, kini peradaban video pun berkembang. Mulai Instagram, Snapchat, sampai Boomerang. Sudah begitu, mereka amat kritis. Akses pada pengetahuan dan kebenaran terbuka luas. Maka dia pun berujar, ’’Pengungkapan sebuah kasus harus pakai science.’’
Hal itu tampak ketika reskrim Polda Metro mengungkap pembunuh Mirna. Mungkin KM masih ingat pesan saya, masyarakat sudah belajar dari serial film di Fox Channel, CSI (Crime Scene Investigation) atau Criminal Minds. Keduanya sarat metode ilmiah. Labnya pun amat canggih. 
Dunia Komersial pun Berubah
Hal itu mengakibatkan cara pandang manusia benar-benar berubah. Cara manusia Indonesia mengevaluasi lembaga pemerintah dan merek-merek komersial juga berubah. Cara mengomersialkan produk melalui orang juga berubah.
Di dalam buku Camera Branding, saya menjelaskan karakter dasar yang perlu dibangun: authentics, gallery mindset, intangibles, flavor, connected and meaningful.
Manusia menjadi merasa ’’dekat’’ hanya kalau mereka bisa mengapresiasi sesuatu, dan sesuatu itu berhubungan dengan benda hidup, yang dapat mereka akses, foto-foto dengan mereka, dan tentu saja harus authentics.
Jadi, bukan yang terkesan semu, paksa, asal tampil, atau dapat menimbulkan kesadaran komersial. Tetapi, yang terpenting, selain authentics, para eksekutif perlu lebih dulu memiliki kesadaran gallery mindset. 
Anda tengah berada di era disruption. Bahkan strategi Anda harus didasarkan pada ide-ide itu kalau tak mau ditinggalkan pasar. Ingat, perubahan abad ini menyandang 3S: speed, surprise, dan shifting. 
Jadi, Daffa, KM, atau bahkan Justin Bieber, Briptu Dara, malahan juga Joko Widodo, Ahok, Haji Lulung, Ruhut Sitompul, Risma, Kang Emil, Kang Yoto, dan tokoh-tokoh publik lainnya sudah ada di sana. 
Demikian juga Bukalapak.com, KitaBisa.com, Uber, Grab, Go-Jek, Coke, dan Raja Ampat. Semua bergaya meng-expose Camera Branding secara authentic. Selamat bereksplorasi!

No comments:

Post a Comment