Sunday 18 December 2016

CALAS

Ia tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya percaya kepada Tuhan—dan ia selalu dikenang karena kecamannya yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu.
Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang terkemuka di Eropa ini menggugah dalam menyampaikan pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria, baik dalam berkisah maupun dalam polemik. Tapi sejak awal 1760-an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari penanya lahir pamflet-pamflet yang marah.
Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang bernama Jean Calas dijatuhi hukuman agar disiksa dan dibunuh.
Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse ini di umur 68 tahun dihukum karena kematian anak sulungnya, Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain dan seorang pelayan, Calas dituduh berkomplot membunuh pemuda itu. Dugaan, atau dakwaan, atau desas-desus: mereka, orang Protestan, melakukan kejahatan itu karena marah ketika tahu anak muda itu telah murtad dari agamanya dan siap memeluk keyakinan Katolik.
Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati karena gantung diri. Pemuda berumur 29 tahun itu masuk ke sekolah tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat bekerja. Undang-undang Prancis waktu itu melarang orang berpraktek sebagai dokter dan pakar hukum kecuali bila ia punya sertifikat yang menunjukkan ia seorang Katolik. Marc-Antoine menolak berpindah agama, tapi ia juga tak bisa cari nafkah lain dan tak menyukai bekerja di toko ayahnya, sementara utangnya menumpuk di meja judi. Agaknya pemuda pemurung ini jengkel dengan nasibnya, merasa hina-dina di antara keluarganya, atau putus asa—dan memilih mati.
Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada polisi. Tapi ketika ia diinterogasi pertama kalinya, ia mencoba membuat cerita bahwa Marc-Antoine tewas terbunuh, dan si pembunuh raib. Agaknya ini caranya untuk mengelakkan sesuatu yang juga menakutkan: di masa itu, di Prancis, jasad seseorang yang bunuh diri akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi dengan cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian Marc-Antoine makin kabur. Para dokter yang memeriksa mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu "digantung hidup-hidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang lain".
Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel bawah tanah, barulah Calas mengatakan: Marc-Antoine "digantung hidup-hidup oleh dirinya sendiri".
Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas "praduga tak bersalah" atau cara lain untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah. "Satu bisikan dapat mematikan bagaikan sampar," kata seorang penulis. Dan di hari-hari itu, sampar berkembang lewat desas-desus dan kabar angin, tatkala penyebab kematian anak muda itu serba meragukan.
Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah ("parlemen") dan para hakim yang mengadilinya memutuskan: si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk nama-nama anggota komplotannya—lalu tubuhnya dipatahkan dengan roda, dan dibakar.
Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab memang tak ada. Maka siksaan dijalankan. Ada tahap ketika mulutnya dicagak dengan dua tongkat agar terbuka dan disentor air berkendi-kendi dan kemudian lubang hidungnya dipencet. Ketika tak ada juga pengakuan, ia dibawa ke depan umum, diarak ke alun-alun, diangkat ke perancah, dan diikat ke sebuah salib berbentuk X. Seorang algojo dengan besi panas menghancurkan tulang-tulang orang tua itu. Setelah tubuhnya patah, ia ditautkan dengan sebuah roda dan mukanya dihadapkan ke langit. Dua jam lamanya. Tapi ia tak juga mengakui kesalahannya, tak mau melepaskan imannya. "Aku mati tanpa salah," katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan ke api....
Écrasez l'infame! Ganyang kekejian itu! Dengan dua kata itu, yang artinya tak pernah persis tapi semangatnya menggelegak, Voltaire pun menyatakan perangnya kepada kebencian yang dinyalakan fanatisme agama. "Orang yang mengatakan kepadaku, 'Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, Tuhan akan mengutukmu,' kini akan mengatakan, 'Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, aku bunuh kau'."
Voltaire sendiri beriman kepada "wujud" yang maha-luhur, tapi ia "tak bergabung dengan salah satu sekte yang akan saling bantah." Agama seorang "deist", katanya, adalah agama paling purba: semata-mata menjunjung satu Tuhan yang mendahului "semua sistem di dunia".
Ia telah menyaksikan bagaimana "sistem" itu—sistem kepercayaan itu—tidak hanya mengikat, tapi juga membuat kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga: permusuhan dan prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang ditulisnya ia tutup dengan sebuah doa: "Semoga semua variasi kecil ini yang membedakan tiap zarah yang bernama manusia tak akan memicu kebencian dan penindasan."
Di tengah suasana yang menyesakkan seperti Prancis di abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan berdoa di samping kita, di Indonesia, kini.

SENIN, 19 DESEMBER 2016
Goenawan Mohamad

Amarah

Negeri ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi itu tiga perempat abad yang lalu.
Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu yang aktual ("sekarang!" seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan: "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!" seperti kata Bung Karno. Ada harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi manusia yang tak terbelenggu, karena kemerdekaan politik adalah "jembatan emas"—gilang-gemilang, kukuh, dan aman untuk mencapai yang dituju.
Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, "jembatan emas" itu ternyata impian yang terlalu manis atau retorika yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri yang penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan.
Tampak pula bahwa sebagian besar "rakyat" bukan pribadi-pribadi yang menentukan pilihan sendiri. Mereka yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka yang bersuara disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani melepaskan diri dari panutan kolektif.
Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato 1 Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang akan berdiri "bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan", melainkan negara "satu buat semua, semua buat satu". Bung Karno meyakini, dalam proses perpaduan antara "satu" dan "semua" itu akan efektif "musyawarah", lewat suatu proses politik dengan perwakilan rakyat.
Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering dialami: "musyawarah" bisa berarti pengekangan yang tersamar terhadap pendirian yang berbeda; "perwakilan rakyat" jadi parlemen yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para pendukung oligarki. Tak jarang dari sana berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau kepicikan.
Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga kali, setidaknya.
Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan. Sosialisme bukan lagi janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan masa silam—mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.
Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan "globalisasi". Pernah ada janji, menyebarnya modal dan perdagangan bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang dan perdamaian. "Tak ada dua negeri yang sama-sama punya McDonald's pernah bertempur satu sama lain, sebab masing-masing punya McDonald's-nya sendiri," kata suara yang paling optimistis tentang globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman.
Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan jalan damai, melainkan, sebagai modal, penyebab kegendutan dan keretakan. Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi modal global—dan bagi yang tak kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper Louis Vuitton) menandai sesuatu yang mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan asing. Globalisasi pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah ekonomi yang paling kuat berperan dalam penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.
Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan yang merundung orang-orang beragama. Yang paling nyaring, kita tahu, terdengar dari "dunia Islam".
Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa ini sebagai "Zaman Kemarahan".
Ia tak membatasi "kemarahan" kolektif itu di dunia Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di pelbagai negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan yang lebih khusus—sesuatu yang tak dikenal tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri Republik: kebencian yang diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan fitnah dan dusta, demagogi ala Rizieq.
Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu pengertian yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche ketika mengamati gejala psikologi kaum yang beragama: ressentiment. Dalam kata ini terkandung "paduan yang intens rasa iri, rasa terhina, dan tak berdaya"—seperti dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni Romawi.
Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi. Mereka sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang disebut "Barat", yang sebenarnya campuran yang hidup dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam hegemoni, sementara dunia Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.
Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia bisa terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma ketakutan.

SENIN, 12 DESEMBER 2016
Goenawan Mohamad

Saturday 17 December 2016

BELA ISLAM BELA INDONESIA #2

...Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
..(BELA ISLAM BELA INDONESIA #1)

Lapis Pelitur

Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).

Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.

Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.

Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."

Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."

Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."

Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.

Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."

Begitulah paparan dan imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman nusantara seyogianya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memosisikan Islam sebagai agama yang "antibudaya bangsa", sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan kehinduan atau kebuddhaan.
Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.

Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).

Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).

Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005).

BELA ISLAM BELA INDONESIA #1

Oleh : Adian Husaini
Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.
Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."
Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"
Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".
Rekayasa Penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.
Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).
Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."
Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia [2009]).
Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis Pelitur
(Bersambung ke BELA ISLAM BELA INDONESIA #2)

Thursday 8 December 2016

Dylan

Senin, 14 Oktober 2016

Saya tak mengerti Bob Dylan. Mungkin memang harus demikian: sesuatu yang memukau adalah sesuatu yang tak harus, atau bisa, dimengerti. Saya baca Tarantula, buku puisinya yang ia tulis pada umur 25 tahun atau pada 1966. Di dalamnya kata-kata bergerak bukan sebagai huruf, bukan sebagai wadah makna, melainkan sebagai bunyi: pengulangannya, konsonannya, tekanannya, panjang-pendek suku katanya:
mother say go in That direction & please
do the greatest deed of all time & say i say
mother but it's already been done & she say
well what else is there for you to do & i say
i dont know mother, but i'm not going in That
direction—i'm going in that direction & she
say ok but where will you be & i say i dont
know mother but i'm not tom joad & she say
all right then i am not your mother
Kita hidup di suatu masa ketika tak ada lagi hierarki antara makna dan bunyi, antara kata dan nada. Kita hidup di suatu masa ketika yang sastra dan yang bukan-sastra tak jelas terpisah—dan bahwa Dylan menerima Hadiah Nobel Kesusastraan menunjukkan runtuhnya struktur imajiner yang memisahkan itu. Tarantula sendiri memperlihatkan saat ketika khaos hadir di celah-celah bentuk. Yang kacau tak dijinakkan yang tertata, dan yang tertata tetap berada di dalam yang kacau.
Ruang ini, dengan 4.800 karakter, terbatas untuk menghormati Dylan secara sepatutnya. Jika ada yang harus saya katakan: saya tak kagum kepada tiap kalimatnya; saya terpesona akan suaranya yang bergetar, lugu, dengan kesayuan yang tiap kali ditingkah patahan dan ironi. Tapi saya tak heran bahwa ia bergema kuat: ia bisa dibaca, atau didengarkan—rekaman suaranya yang bersahaja tapi menyentuh, dengan harmonika di mulut dan gitar di pelukan—tatkala kejadian-kejadian dilontarkan dalam headline atau dibaca keras di televisi. Tapi kita terpukau karena ada yang tak hilang dari sana: pertanyaan.
How many seas must a white dove sail
before she sleeps in the sand?
Di tahun 1960-an, lagu ini dijadikan suara protes. Tapi kini mungkin protes itu tak lebih ketimbang sebuah sajak yang merundung kita terus-menerus.
”Blowing in the Wind” pertama kali jadi termasyhur melalui suara Peter, Paul, dan Mary, trio penyanyi folk yang mewakili suasana Amerika tahun 1960-an, ketika Amerika mengirimkan anak-anak muda ke kancah Perang Vietnam, ketika kaum hitam mulai menggugat perlakuan masyarakat mayoritas putih, ketika sebuah generasi resah—antara cemas dan cinta, antara santai dan gemuruh, ketika begitu banyak pertanyaan tentang hidup tak terjawab. Perang, kematian, ketakadilan, kekejaman, tapi juga kesetiaan dan pengorbanan: pernahkah akan berakhir? Mengapa? The answer, my friend, is blowing in the wind....
Melodi itu datang ke kenangan Dylan dari sebuah negro spiritual yang lama, ”No More Auction Block”—suara yang menusuk, ketika para budak mensyukuri kebebasan di sekitar Perang Saudara Amerika di abad ke-19. ”Tak ada lagi tempat lelang, tak ada lagi lecutan, tak ada lagi garam yang disiramkan ke luka siksaan.”
Tapi ”Blowing in the Wind” seakan-akan nyanyian yang lebih tua ketimbang itu, dengan kata-kata yang lebih langgeng. Dylan, yang nama masa kecilnya Bobby Zimmerman, dibesarkan dalam keluarga Yahudi pemilik toko mebel dan peralatan di Hibbing, Minnesota. Mungkin saja di kepalanya bergaung petilan Kitab Kejadian dan Ezekiel. Tapi tak berarti puisi dan nyanyi mematuhinya. Mereka menerobos peta dan mengelakkan genealogi.
Citra Bob Dylan adalah citra anak muda yang menerobos. Ia tampil seperti penyanyi pujaannya, Woody Guthrie, yang menggubah lagu ketika mengunjungi daerah Amerika yang terpukul kemiskinan selama depresi ekonomi. Sejak ia pindah ke New York dan mengabadikan namanya di Greenwich Village, Dylan seperti berpindah bahkan dari asal-usulnya, mengaburkannya, dan muncul dalam persona yang berbeda dari saat ke saat. I'm Not There (2007) mencoba menangkap itu: film ini ”diilhami oleh musik dan pelbagai hidup Bob Dylan”—dan enam aktor memerankan pelbagai sosok dirinya, termasuk aktor perempuan yang ulung itu, Cate Blanchett.
Dengan parasnya yang feminin dan halus, rambutnya yang lebat tak tersisir, dengan suaranya yang seperti menutupi melankoli, dan puisinya yang tak linear, Dylan—seperti dalam albumnya, The Freewheelin' Bob Dylan—adalah penggubah dan pengubah: seperti ketika ia bertolak dari corak musik folk seraya menjadikannya sesuatu yang lain.
Tapi ada yang tetap datang di dalam dirinya: kepekaan kepada hidup yang dicederai. Meskipun ia tak bisa jadi pembimbing. Ia menemukan yang lain. ”Aku menemukan sifat religius dan filsafat dalam musik.... Aku tak mengikuti rabi, pengkhotbah, evangelis, semua itu.”
Anehnya, suaranya terasa lebih benar ketimbang khotbah:
Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?

Goenawan Mohamad

Bhima

Senin, 10 Oktober 2016

"IA mencari air kehidupan, mungkin ia mencari kebenaran," kata dalang yang semalam mengisahkan cerita Bhima yang menemui Dewa Ruci di tengah samudra. "Mungkin kesatria itu tak tahu apa yang dicarinya dan yang akan diperolehnya," katanya lagi.
Saya terkesima. Semalam, di layar, saya menatap wujud kecil itu, Dewa Ruci, berkata kepada kesatria itu agar masuk ke dalam dirinya melalui telinganya. Bhima mesti meyakini yang mustahil sebagai yang mungkin. Dan ia menurut. Dan ia berhasil.
Ia menerobos lubang kuping itu dan menemukan dirinya berada di dalam ruang yang tak terkira. Serat Dewa Ruci menggambarkannya sebagai "samodragung, tanpa têpi nglangut lumaris/lêyêp adoh katingal"—samudra besar, tanpa tepi dan semua sayup tampak di kejauhan. Dalam adegan yang sering mengutip risalah-risalah kebatinan Jawa, di sanalah Bhima menyaksikan permainan empat warna: hitam, merah, kuning, putih. Warna-warna itu, menurut Dewa Ruci, merupakan imaji dari energi apa yang ada dalam diri sendiri—durmaganing tyas, terutama yang negatif, kecuali yang putih.
Tampak benar fokus cerita ini adalah manusia dan kemampuannya mengendalikan diri dan mencapai sesuatu. Ketika di bagian berikutnya ada paparan tentang persamaan "jagat besar" dengan "jagat kecil", kita kembali bertemu dengan manusia sebagai penentu perspektif tentang semesta. Bahwa kemudian dikatakan tubuh hanyalah perkakas yang dikuasai yang memberi hidup, kang karya gesang, itu justru menunjukkan betapa yang kekal dekat sekali dengan kefanaan insan.
Serat Dewa Ruci (yang saya baca teks yang digubah Mas Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri sebagai tafsir dari karya Sunan Bonang di abad ke-15) berasal dari sebuah masa ketika manusia dianggap akan mampu mencapai kebenaran dengan puruhita, mencari dan berguru lewat jalan yang rumit—dan bisa bertemu dengan yang dicari. Belum ada kekecewaan ketika manusia, dengan kehendaknya untuk benar, ternyata melahirkan bencana.
Namun ada yang perlu ditambahkan di sini. Serat Dewa Ruci, meskipun meletakkan manusia sebagai pengendali diri, tak bertolak dari norma yang sudah jadi. "Ajaran" dalam teks ini bersifat pragmatis. Yang penting bukanlah kejelasan apa itu "kebenaran" atau kepastian yang kita ketahui; yang penting bukanlah alasan yang logis, melainkan tindakan mengubah diri dan efeknya bagi dunia; yang utama adalah aksi, laku. Tak ada hukum ataupun aturan moral yang sudah dirumuskan.
Sejak awal, Bhima dikatakan mencari "air kehidupan". Dengan "air" (tirta atau toya) sebagai perumpamaan, kita mendapat kesan betapa pentingnya apa yang dicari itu bagi hidup. Tapi sekaligus betapa tak kedap; air transparan, mengalir, luwes, selalu merespons sebuah lingkungan. Maka apabila yang dicari kesempurnaan—atau kebenaran yang membawa kesempurnaan—yang diperoleh bukan sesuatu yang mandek dalam aturan atau standar.
Mungkin itu sebabnya "kearifan lokal" seperti ini—berbeda dengan agama-agama yang berpegang kepada Kitab—tak menawarkan hukum. Filsafat, bagi teks ini, bukan metafisika, melainkan "ethika": uraian dan penjelajahan keadaan yang memungkinkan terjadinya tindakan dan kehidupan yang "baik". Tapi "ethika" di sini terbatas. Dalam Dewa Ruci tak ada orang lain yang membuat semua itu berharga. Tak ada orang lain dengan siapa Bhima berbagi dalam proses pencarian dan penemuannya. Kesatria Pandawa itu meninggalkan saudara-saudaranya. Ia sendirian.
Kesendirian itu lebih terasa ketika orang lain bisa berarti musuh yang tersembunyi. Bhima pergi karena Durna, guru dan juga sekutu Kurawa, hendak menjerumuskannya, dan ia pulang dari perjalanannya dengan kemampuan mengalahkan dirinya sendiri dan dunia. Selesai meresapkan ajaran Dewa Ruci ia (merasa) lebih unggul, seakan-akan seantero jagat raya bisa ia rengkuh sekaligus, sawêngkon jagad raya/sagung kawêngku.
Ada kecenderungan solipsisme yang kuat dalam Serat Dewa Ruci. Ada tendensi menganggap hanya kesadaran sendiri yang ada dalam proses pencarian kebenaran. Orang lain, liyan, hadir tanpa bekas. Mungkin karena naskah ini dilahirkan dalam ruang-ruang meditatif dan lingkungan di mana percakapan adalah percakapan hierarkis, antara guru dan murid atau orang yang berbeda tingkat keilmuan. Tak ada dialog.
Maka dalam kalimat-kalimat tembang yang setengah gelap, naskah Dewa Ruci sering berakhir sebagai sesuatu yang esoterik: makin sedikit dipahami, makin mempesona. Hanya seorang dalang yang piawai yang berkata: mungkin Bhima (dan kita semua) tak tahu apa kebenaran yang dicari dan yang akan diperoleh.
Dan dalang tua itu tersenyum kecil dan kita ingat: tirta adalah sesuatu yang mengalir, tak berhenti. Dengan itulah ada kearifan lain: sungguh berbahaya proses mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi setelah yang dicari ditemukan.