Sunday 18 December 2016

CALAS

Ia tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya percaya kepada Tuhan—dan ia selalu dikenang karena kecamannya yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu.
Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang terkemuka di Eropa ini menggugah dalam menyampaikan pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria, baik dalam berkisah maupun dalam polemik. Tapi sejak awal 1760-an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari penanya lahir pamflet-pamflet yang marah.
Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang bernama Jean Calas dijatuhi hukuman agar disiksa dan dibunuh.
Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse ini di umur 68 tahun dihukum karena kematian anak sulungnya, Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain dan seorang pelayan, Calas dituduh berkomplot membunuh pemuda itu. Dugaan, atau dakwaan, atau desas-desus: mereka, orang Protestan, melakukan kejahatan itu karena marah ketika tahu anak muda itu telah murtad dari agamanya dan siap memeluk keyakinan Katolik.
Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati karena gantung diri. Pemuda berumur 29 tahun itu masuk ke sekolah tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat bekerja. Undang-undang Prancis waktu itu melarang orang berpraktek sebagai dokter dan pakar hukum kecuali bila ia punya sertifikat yang menunjukkan ia seorang Katolik. Marc-Antoine menolak berpindah agama, tapi ia juga tak bisa cari nafkah lain dan tak menyukai bekerja di toko ayahnya, sementara utangnya menumpuk di meja judi. Agaknya pemuda pemurung ini jengkel dengan nasibnya, merasa hina-dina di antara keluarganya, atau putus asa—dan memilih mati.
Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada polisi. Tapi ketika ia diinterogasi pertama kalinya, ia mencoba membuat cerita bahwa Marc-Antoine tewas terbunuh, dan si pembunuh raib. Agaknya ini caranya untuk mengelakkan sesuatu yang juga menakutkan: di masa itu, di Prancis, jasad seseorang yang bunuh diri akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi dengan cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian Marc-Antoine makin kabur. Para dokter yang memeriksa mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu "digantung hidup-hidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang lain".
Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel bawah tanah, barulah Calas mengatakan: Marc-Antoine "digantung hidup-hidup oleh dirinya sendiri".
Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas "praduga tak bersalah" atau cara lain untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah. "Satu bisikan dapat mematikan bagaikan sampar," kata seorang penulis. Dan di hari-hari itu, sampar berkembang lewat desas-desus dan kabar angin, tatkala penyebab kematian anak muda itu serba meragukan.
Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah ("parlemen") dan para hakim yang mengadilinya memutuskan: si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk nama-nama anggota komplotannya—lalu tubuhnya dipatahkan dengan roda, dan dibakar.
Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab memang tak ada. Maka siksaan dijalankan. Ada tahap ketika mulutnya dicagak dengan dua tongkat agar terbuka dan disentor air berkendi-kendi dan kemudian lubang hidungnya dipencet. Ketika tak ada juga pengakuan, ia dibawa ke depan umum, diarak ke alun-alun, diangkat ke perancah, dan diikat ke sebuah salib berbentuk X. Seorang algojo dengan besi panas menghancurkan tulang-tulang orang tua itu. Setelah tubuhnya patah, ia ditautkan dengan sebuah roda dan mukanya dihadapkan ke langit. Dua jam lamanya. Tapi ia tak juga mengakui kesalahannya, tak mau melepaskan imannya. "Aku mati tanpa salah," katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan ke api....
Écrasez l'infame! Ganyang kekejian itu! Dengan dua kata itu, yang artinya tak pernah persis tapi semangatnya menggelegak, Voltaire pun menyatakan perangnya kepada kebencian yang dinyalakan fanatisme agama. "Orang yang mengatakan kepadaku, 'Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, Tuhan akan mengutukmu,' kini akan mengatakan, 'Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, aku bunuh kau'."
Voltaire sendiri beriman kepada "wujud" yang maha-luhur, tapi ia "tak bergabung dengan salah satu sekte yang akan saling bantah." Agama seorang "deist", katanya, adalah agama paling purba: semata-mata menjunjung satu Tuhan yang mendahului "semua sistem di dunia".
Ia telah menyaksikan bagaimana "sistem" itu—sistem kepercayaan itu—tidak hanya mengikat, tapi juga membuat kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga: permusuhan dan prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang ditulisnya ia tutup dengan sebuah doa: "Semoga semua variasi kecil ini yang membedakan tiap zarah yang bernama manusia tak akan memicu kebencian dan penindasan."
Di tengah suasana yang menyesakkan seperti Prancis di abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan berdoa di samping kita, di Indonesia, kini.

SENIN, 19 DESEMBER 2016
Goenawan Mohamad

No comments:

Post a Comment